Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Sudah Membaca Tren, Outlook, dan Tantangan Perpajakan 2016?

Sudah Membaca Tren, Outlook, dan Tantangan Perpajakan 2016?

Tepat 1 Januari 2016, Majalah InsideTax mengeluarkan edisi khusus mereka dengan mengangkat tema "Tren, Outlook, dan Tantangan Perpajakan 2016: Apa Kata Mereka?". Mungkin, "Apa Kata Mereka" terdengar janggal namun ternyata isi majalah ini memang penuh dengan profile-profile para pemangku kepentingan di sektor perpajakan. Mereka berbicara sebagai perwakilan suara pengamat, pemerintah pusat, pemerintah daerah, wajib pajak, akademisi, konsultan dan kuasa hukum, sektor hukum, hingga dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) di tingkat nasional maupun internasional mengenai tren, outlook, dan tantangan perpajakan.

Majalah InsideTax Edisi Khusus 2015-2016


Berikut adalah list profile-profile tersebut:

  1. Darussalam, pengamat perpajakan dan Managing Parner di DANNY DARUSSALAM Tax Center,
  2. Eny Sri Hartati, pengamat ekonomi sekaligus Direktur di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF);
  3. Rubino Sugana, Revenue Strategy Adviser di Australia Indonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG);
  4. Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA);
  5. Suahasil Nazara, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF);
  6. Mekar Satria Utama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2Humas), Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak,
  7. Daeng M. Nazier, Ketua Komite Pengawas (Komwas) Perpajakan,
  8. Hariyadi B. Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO),
  9. Johnny Darmawan, Ketua Dewan Pimpinan Harian Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan juga Mantan Presiden Direktur PT Toyota Astra Motor,
  10. Mukhamad Misbakhun, Anggota Komisi XI DPR RI,
  11. Danny Septriadi, kuasa hukum pajak, akademisi, dan Senior Partner di DANNY DARUSSALAM Tax Center,
  12. Permana Adi Saputra, Sekretaris Jenderal di Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Kompartemen Akuntan Pajak (KAPj),
  13. Kismantoro Petrus, Sekretaris Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI),
  14. Agus Bambang Setyowidodo, Kepala Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI Jakarta,
  15. Ghazali Abbas Adan, Wakil Ketua Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI 2014-2019 dari Aceh,
  16. Fransiskus Sales Sodo, Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (PKAD) dari Manggarai Barat,
  17. Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD),
  18. Adrianto Dwi Nugroho, Dosen Hukum Pajak di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM),
  19. Ari Kuncoro, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI),
  20. Peter Essers, Chairman of the Academic Committee di European Association of Tax Law Professors (EATLP) dan koordinator dalam program kerja sama terkait pajak antar universitas di Eropa (European Universities Cooperating on Taxes/EucoTax),
  21. Prof. Romli Atmasasmita, Guru Besar Ilmu Hukum Pidana  di Universitas Padjadjaran (Unpad), sekaligus Direktur Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik (LPIKP),
  22. Tri Hidayat Wahyudi, Ketua Pengadilan Pajak,
  23. Yunus Husein, Satuan Tugas Illegal Fishing, Kepala PPATK pada tahun 2002,
  24. Alex Cobham, Direktur Penelitian di Tax Justice Network, Inggris,
  25. Setyo Budiantoro, Senior Researcher di Perkumpulan Prakarsa (PRAKARSA), serta
  26. Maryati Abdullah, Koordinator Nasional dari Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.
Banyak bukan?

Belum lagi, dalam Majalah Edisi Khusus kali ini disajikan beragam infografis perpajakan seperti kinerja penerimaan pajak di Indonesia dalam jangka panjang, kinerja penerimaan pajak daerah, outlook perekonomian, indikator tax administration di berbagai negara, penyelewengan pajak, perkembangan terkini terkait perpajakan dan indikator lainnya

Untuk memiliki Majalah ini, Anda dapat mendownloadnya secara GRATIS di website ini DANNY DARUSSALAM Tax Center (klik link nya). 

Caranya: 
  1. bila belum registrasi, isi nama, email yang aktif, dan password, lalu klik submit. 
  2. Cek inbox di email untuk konfirmasi dan aktifasi alamat email,
  3. email sudah dapat di gunakan untuk mendownload semua edisinya.


    mengenal empat kepatuhan wajib pajak

    mengenal empat kepatuhan wajib pajak

    mengenal 4 jenis kepatuhan Wajib Pajak
    Kajian tentang kepatuhan Wajib Pajak bisa dilihat dari berbagai macam sisi. Tulisan ini membahas empat keputuhan Wajib Pajak dilihat dari dua sisi. Keempat kepatuhan Wajib Pajak adalah kepatuhan formal, kepatuhan material, kepatuhan sukarela, dan kepatuhan yang dipaksakan.


    Dilihat dari sisi kewajiban, kewajiban perpajakan dibagi dua, yaitu kewajiban formal dan materian. Jika dilihat dari sisi Wajib Pajak, maka kepatuhan Wajib Pajak pun bisa dibagi dua yaitu kepatuhan formal dan kewajiban material.


    Kepatuhan formal adalah kepatuhan terhadap aturan formal perpajakan. Diantaranya kepatuhan formal Wajib Pajak adalah 

    • mendaftarkan diri dan memiliki NPWP,
    • menghitung dan membayar pajak terutang,
    • melaporkan SPT baik SPT Masa maupun SPT Tahunan.
    Banyak Wajib Pajak yang tidak tahu adanya kepatuhan formal ini. Bagi mereka yang awam tentang pajak, begitu sudah dipotong oleh pihak pemberi penghasilan maka mereka bilang, "Saya sudah bayar pajak dan kewajiban saya sudah dipenuhi".

    Para artis dan selebritis termasuk yang banyak berlindung dari sistem withholding taxes ini. Karena sudah dipotong oleh pihak lain, baik production house, EO, manajemen artis, ataupun pihak televisi mereka mengaku sudah menunaikan kewajiban.

    Padahal bisa jadi pemotongan oleh pemotong ternyata kurang bayar. Atau atas kumulatif penghasilan yang diterima, setelah dihitung ulang seharusnya ada tambahan bayar pajak yang disebut PPh Pasal 29. 

    Ada juga rekanan pemerintah yang sudah dipungut pajak-pajak oleh bendahara pemerintah. Walaupun sudah dipungut dan disetor ke Kas Negara oleh bendahara, tetapi para rekanan pemerintah yang dibayar oleh APBN tersebut tetap memiliki kewajiban (sekurang-kurangnya) melaporkan SPT Masa PPN dan SPT Tahunan PPh Badan.

    Rekanan pemerintah yang tidak melaporkan SPT Masa PPN dan/atau SPT Tahunan PPh Badan tetap saja disebut bandel oleh kantor pajak. Banyak rekanan pemerintah yang dicabut status PKP karena tidak pernah lapor SPT Masa PPN. 

    Sedangkan kewajiban material bersifat matematis. Bisa jadi pemotongan menghasilkan lebih bayar atau kurang bayar. Secara teknis, kewajiban material akan "lunas" jika: 
    • sudah ada ketetapan pajak dari kantor pajak; 
    • SPT yang disampaikan sudah daluwarsa.

    Jenis kepatuhan kedua dilihat dari sisi "niat" Wajib Pajak. Ini mirip seperti pembagian niat dalam Agama Islam, yaitu ihlas dan riya. Tetapi kepatuhan Wajib Pajak dibagi dua menjadi:
    • sukarela (voluntary compliance),
    • terpaksa (compulsory compliance).
    Kepatuhan sukarela adalah kepatuhan Wajib Pajak yang berdasarkan kesadaran tentang kewajiban perpajakan, tidak ada paksaan dan tidak juga karena takut sanksi perpajakan. Sedikit Wajib Pajak yang patuh secara sukarela dibandingkan Wajib Pajak pajak yang patuh secara terpaksa.

    Kepatuhan yang dipaksakan adalah kepatuhan Wajib Pajak karena keterpaksaan atau dorongan hal lain, seperti terpaksa patuh karena takut sanksi yang lebih berat. Jika pajak tidak ada sanksi yang berat, tentu hanya sedikit sekali Wajib Pajak yang bayar pajak.

    Per definisi, menurut Pasal 1 angka 1 UU KUP bahwa pajak sebenarnya "bersifat memaksa". Dalam sistem negara demokrasi, pemaksa orang membayar pajak adalah Undang-Undang.

    Hanya undang-undang-lah yang memiliki kewenangan memaksa. Sedangkan aparat pemerintah termasuk petugas pajak tidak memiliki kewenangan apa-apa kecuali yang sudah ditentukan oleh undang-undang.

    Jadi, petugas pajak sebenarnya bertugas memaksa para pembayar pajak, para Wajib Pajak untuk patuh terhadap kewajibannya termasuk setor pajak ke Negara! 

    Yuk, bayar pajak sebelum dipaksa sebenar-benarnya pemaksaan!


    manfaatkan penghapusan sanksi pajak 2015 atau bersiap-siaplah tahun berikutnya dengan penegakkan hukum






    tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak

    tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak

    tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
    gambar dari emas24karang.com
    Objek PPh sesuai namanya adalah penghasilan. Secara umum, definisi penghasilan diatur di Pasal 4 ayat (1) UU PPh, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
    Salah satu kriteria penghasilan adalah menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan. Secara teori, ini merupakan metode penghitungan Penghasilan Kena Pajak berdasarkan pemakaian penghasilan, expenditure atau penggunaan penghasilan.

    Hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi dan sisanya yang ditabung menjadi kekayaan Wajib Pajak, termasuk yang dipakai membeli harta sebagai investasi, merupakan penghasilan. Ini sebenarnya penerapan rumus: Y = C + S untuk keperluan perpajakan, dimana y sebagai penghasilan, c sebagai konsumsi, dan s sebagai tabungan.

    Dalam praktek, menghitung PPh terutang dibatasi oleh tahun pajak. Ketetapan pajak yang diterbitkan oleh kantor pajak hanya bisa per tahun pajak. Satu surat ketetapan pajak tidak mungkin untuk dua tahun pajak atau lebih.

    Sedangkan kriteria "menambah kekayaan Wajib Pajak" merupakan sisa yang ditabung menjadi kekayaan. Artinya kumulatif dari kekayaan yang ada per tanggal tertentu. Atau sisa kekayaan yang ada pada akhir tahun tertentu.

    Kenapa akhir tahun? Karena daftar kekayaan yang dilaporkan oleh Wajib Pajak ke kantor pajak pada umumnya per 31 Desember dan dilaporkan di SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.


    semua penghasilan akan "mengendap" menjadi kekayaan Wajib Pajak


    Menghitung tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak dilakukan dengan menjumlahkan total kekayaan, kemudian dikurangi dengan "penghasilan neto" yang sudah dikenai pajak. Sisanya tentu yang belum dikenai pajak.

    Penghasilan neto dalam hal ini merupakan penghasilan bruto dalam satu tahun dikurangi biaya hidup dalam tahun tersebut. Biaya hidup disini adalah semua pengeluran baik untuk konsumsi maupun pajak-pajak selain PPh. 


    contoh daftar pengeluran versi LHKPN

    Karena "menambah kekayaan Wajib Pajak" merupakan restan, sisa, atau saldo atas penghasilan-penghasilan masa lalu, maka objek PPh dari kriteria ini tidak ada tahun pajak. Kan yang dihitung juga restan kekayaan tahun yang diperiksa!

    Secara matematis, jika semua penghasilan yang menjadi restan kekayaan sudah dikenai pajak penghasilan tentu saja penghitungan "hasil kekayaan neto yang berasal dari penghasilan neto yang belum dikenakan pajak" hasilnya akan nihil. Walaupun penghitungannya berulang-ulang setiap tahun.

    Tetapi, jika penghitungan tersebut hasilnya terdapat "hasil kekayaan neto yang berasal dari penghasilan neto yang belum dikenakan pajak" maka itu merupakan objek PPh menurut Pasal 4 ayat (1) huruf p UU PPh.

    Cek tulisan terbaru di aguspajak.com/blog 

     





    Ruko dan Rukan termasuk objek PPh Pasal 22 atau tidak?

    Ruko dan Rukan termasuk objek PPh Pasal 22 atau tidak?

    contoh iklan jual rumah seharga 100 milyar rupiah di Jakarta Selatan
    Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015 mengatur kewajiban pemungutan PPh Pasal 22 dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah, diantaranya "apartemen, kondominium, dan sejenisnya". Peraturan ini tidak merinci "dan sejenisnya" yang menjadi objek PPh Pasal 22.

    Karena itu timbul pertanyaan, apakah rumah toko (ruko), rumah kantor (rukan), kondominium hotel (kondotel) termasuk "dan sejenisnya"?


    Untuk menjawab pertanyaan ini saya baca latar belakang peraturan ini. Latar belakang yang saya maksud ada di bagian menimbang. Ini kutipannya:
    pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak atas penghasilan yang digunakan untuk konsumsi barang yang tergolong sangat mewah
    Dari bagian menimbang itu saya menemukan kata "konsumsi". Istilah konsumsi saya baca di wiki:
    Konsumsi, dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung 
    Dari pengertian diatas, saya memiliki dua kriteria:

    • memenuhi kebutuhan, dan
    • memenuhi kepuasan.

    Kebutuhan untuk barang orang kaya tentu bukan kebutuhan pokok. Barang yang dimaksud tergolong sangat mewah. Jadi, menurut saya kebutuhan dalam hal ini adalah "tempat tinggal" dan kendaraan.

    Untuk jenis "tempat tinggal" bisa kita baca yang tertulis di Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015, yaitu:

    • rumah
    • apartemen
    • kondominium




      Sedangkan jenis kendaraan bisa kita baca yang tertulis di Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015, yaitu:

      • pesawat terbang pribadi, 
      • helikopter pribadi,
      • kapal pesiar, 
      • yacht,
      • sedan, 
      • jeep, 
      • sport utility vehicle (suv), 
      • multi purpose vehicle (mpv), 
      • minibus,
      • kendaraan bermotor roda dua dan tiga

      Sedangkan kriteria kedua adalah kriteria kepuasan. Pemuasan pribadi pembeli supaya tempat tinggal dan kendaraan yang dimiliki "sekelas" dengan penghasilannya. Pamer!

      Maksudnya, bahwa tempat tinggal dan kendaraan mereka kelasnya sudah sangat mewah. Nah sangat mewah inilah yang diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015.

      KESIMPULAN
      Kembali ke pertanyaan, apakah rumah toko dan rumah kantor termasuk objek PPh Pasal 22 yang dimaksud Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015?

      Menurut saya bukan. Alasannya:
      • tujuan pembuatan rumah toko dan rumah kantor adalah untuk usaha sehingga tidak termasuk pengertian "rumah tinggal" walaupun bisa saja dia tinggal di ruko atau rukan.  
      Bagaimana jika rumah atau apartemen digunakan untuk usaha? Misalnya disewakan? Atau rumah yang dijadikan kantor? Atau rumah yang bagian depannya ada toko? Tetap menjadi objek karena pada dasarnya rumah dan apartemen dimaksud untuk tempat tinggal. Hanya saja penggunaannya yang "menyimpang".


      DEFINISI:
      Ruko (singkatan dari rumah toko) adalah sebutan bagi bangunan-bangunan di Indonesia yang umumnya bertingkat antara dua hingga lima lantai, di mana lantai-lantai bawahnya digunakan sebagai tempat berusaha ataupun semacam kantor sementara lantai atas dimanfaatkan sebagai tempat tinggal.

      FUNGI:
      fungsi utama dari kantor dan rumah sangatlah bertolak belakang sehingga Anda harus mengatur dan mendesainnya sedemikian rupa sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara satu dan lainnya. 

      Rumah, ibaratnya istana. Kehangatan, keakraban, kepedulian, kebersamaan, dan kebutuhan untuk istirahat sangat dominan di rumah. Sedangkan kantor penuh dengan deadline, pusat dari segala produktivitas yang Anda miliki juga merupakan icon dari profesionalisme Anda sebagai pekerja.


      Cek tulisan terbaru di aguspajak.com/blog







      SPT Tahunan PPh Pasal 21

      SPT Tahunan PPh Pasal 21

      Banyak yang bertanya, baik Wajib Pajak maupun pegawai pajak [termasuk saya] sendiri, apakah tahun pajak 2008 tidak ada SPT Tahunan PPh Pasal 21? Jika ada yang bertanya ke saya pertama-tama saya jawab tidak ada. Karena di UU KUP terbaru memang tidak mengatur tentang SPT Tahunan PPh Pasal 21.

      Kita kutif Pasal 3 ayat (3) UU KUP:
      Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
      a. untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;

      b. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau

      c. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

      Huruf a menyebutkan SPT Masa, huruf b menyebutkan SPT Tahunan PPh OP, sedangkan huruf c menyebutkan SPT Tahunan PPh WP Badan. Kalau ada SPT Tahunan PPh Pasal 21 akan timbul pertanyaan, "Kapan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 21?" Undang-undang formal tidak mengatur!

      Bagi Wajib Pajak sendiri, SPT Tahunan PPh Pasal 21 bisa dijadikan alat untuk "menggeser" pembayaran pajak. Karena SPT Tahunan PPh Pasal 21 merupakan akumulasi pelaporan kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja atau pemberi penghasilan maka fakta dilapangan sering ditemukan Wajib Pajak benar-benar menghitung PPh Pasal 21 saat bikin SPT Tahunan. Sedangkan SPT Masa PPh Pasal 21 dibuat "daripada tidak bikin".

      Saya pikir hal itu 'kesalahan' yang pantas dimaafkan. Pada waktu pemeriksaan, si pemeriksa pajak jarang memeriksa tanggal berapa objek PPh Pasal 21 dibayarkan dan harus dilaporkan di SPT Masa kapan? Berbeda dengan pembuatan faktur pajak standar dan pelaporan di SPT Masa PPN. Selain karena pengaturan di PPN lebih rinci tentang kapan harus dilaporkan juga berkaitan dengan cut-off omset. Karena itu PPN lebih mendapat perhatian.

      Praktek yang sering saya temukan [juga biasa saya lakukan] untuk menguji kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 adalah equalisasi biaya-biaya dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21. Jika jumlah objeknya sudah sama, maka tidak ada koreksi objek. Jika ada koreksi objek maka sanksi bunga juga dihitung sejak bulan setelah tahun pajak berakhir [Januari tahun berikutnya]. Bukan sejak bulan setelah biaya tersebut dibayarkan!

      Kembali ke SPT Tahunan PPh Pasal 21 di tahun 2008, ternyata untuk tahun pajak 2008 masih ada. Dengan diterbitkan PER-39/PJ/2008 maka khusus tahun 2008, para majikan bisa "menyelesaikan" kewajiban PPh Pasal 21 dengan SPT Tahunan ini.

      Trik yang sering saya jumpai di lapangan untuk pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21 antara lain :
      [1] Mencantumkan jumlah objek pajak dengan kira-kira saja. Kepada siapa dibayarkan, itu mah urusan nanti. Yang penting jumlah objek pajak mendekati biaya.

      [2] Menggeser penghasilan dari atasan kepada bawahan supaya ada 'pemerataan' sehingga terhindar tarif tertinggi.

      [3] Penghitungan dan pembayaran PPh Pasal 21 di SPT Masa mah asal ada saja, karena penghitungan yang benar ada di SPT Tahunan. Toh di SPT Masa tidak ada perincian penghitungan seperti form 1721-A1.

      Tapi perkiraan saya sih PER-39/PJ/2008 ini untuk menjembatani "kebiasaan" membuat SPT Tahunan dengan tidak membuat. Mungkin akan ada peraturan lain yang berkaitan dengan tahun pajak 2009. Sebelum PER-39/PJ/2008 muncul ada surat Direktur .. yang memberitahukan draf SPT Tahunan PPh Pasal 21 dan kemungkinan pengaturan lebih lanjut tentang SPT Tahunan Pasal 21. Kita tunggu saja.



      Jasa perhotelan

      Jasa perhotelan

      Diantara yang sering dipertanyakan berkaitan dengan objek persewaan bangunan adalah persewaan ruangan oleh hotel kepada pihak lain. Apakah persewaan seperti ini termasuk objek PPh Pasal 4 ayat (2) Final yang mengacu ke Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1996 atau bukan. Sebelumnya, saya selalu berpatokan bahwa yang dikecualikan dari persewaan ruangan di hotel adalah sewa kamar untuk menginap karena termasuk wilayah Pajak Hotel. Tetapi pendapat itu sekarang dikoreksi karena ternyata ada yang namanya Jasa Perhotelan atau Jasa dibidang perhotelan. Berikut catatannya:

      Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1996 menyebutkan :
      Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri, wajib dibayar Pajak Penghasilan.

      Keputusan Menteri Keuangan No. 394/KMK.04/1996 sebagai pelaksana dari PP No. 29 Tahun 1996 diatas memperluas pengertian persewaan bangunan dengan “atau pertemuan termasuk bagiannya”, berikut bunyi lengkap Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan No. 394/KMK.04/1996:
      Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.

      Walaupun Keputusan Menteri Keuangan No. 394/KMK.04/1996 ini telah dirubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 120/KMK.03/2002 tetapi perubahan hanya untuk Pasal 2. Artinya pengertian persewaan tanah dan/atau bangunan tidak berubah.

      Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-22/PJ.4/1996 mempertegas pengertian sewa yang dimaksud dengan PP No. 29 Tahun 1996. Berikut bunyi lengkapnya :
      ..atas penghasilan berupa sewa atas tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final. Dalam Pengertian bagian dari gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk areal baik di dalam gedung maupun di luar gedung yang merupakan bagian dari gedung tersebut.

      Karena itu sangat wajar jika sebelumnya saya berpendapat bahwa sewa ruangan untuk acara [ contoh ] : seminar, training management, dan acara rapat termasuk dalam pengertian sewa bangunan yang harus dipotong PPh Pasal 4 (2) Final sebagaimana dimaksud di PP NO. 29 Tahun 1996. Ruangan bagian hotel yang disewakan ke konsumen untuk acara seminar atau acara rapat [meeting] termasuk “pertemuan”.

      Pendapat itu kemudian berubah setelah ada email yang menanyakan surat Sekretaris Ditjen Pajak tentang pemotongan PPh atas kegiatan di Hotel. Inti surat S-3285/PJ.013/2007 adalah jawaban kenapa Ditjen Pajak tidak memotong PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23 untuk acara Diklat Fungsional Pemeriksa Pajak yang dilakukan di hotel, padahal instansi lain memungut PPh dimaksud untuk acara yang sejenis [diselenggarakan di hotel]. Tentu saja saya tidak memiliki kapasitas “melawan” surat tersebut. Karena itu, sebelum menjawab, saya pelajari pelan-pelan surat yang disertakan di email tersebut. Ternyata, pendapat saya yang pertama salah.

      Inti kesalahan pendapat pertama adalah adanya istilah “jasa perhotelan”. Sebenarnya lebih tepat disebut “Jasa dibidang perhotelan”. Kita urutkan, kenapa harus ada definisi jasa perhotelan. Bermula dari Pasal 4A ayat (3) UU PPN 1984 bahwa jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai didasarkan atas kelompok-kelompok jasa, “ .. jasa di bidang perhotelan; …

      Kemudian berdasarkan kuasa Pasal 4A UU PPN 1984 ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 menyebutkan :
      Jenis jasa di bidang perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf k meliputi :
      a. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan
      b. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.


      Berdasarkan pengertian ini, bahwa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel merupakan Jasa Perhotelan! Artinya, jasa perhotelan memiliki pengertian khusus. Pengertian khusus ini mengalahkan pengertian umum tentang “sewa bangunan”. Kita perhatikan bahwa Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan No. 394/KMK.04/1996 menyebutkan kata “pertemuan” sebagai bagian dari sewa bangunan. Begitu juga di Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 menyebutkan kata “pertemuan di hotel”. Sama-sama pertemuan!

      Catatan saya bahwa persewaan ruangan selain untuk kegiatan acara atau pertemuan [seperti disewakan untuk kios, untuk kantor, untuk usaha lain] masih tetap merupakan sewa rungan yang mengacu kepada PP No. 29 Tahun 1996 walaupun dilakukan oleh hotel karena tidak sesuai dengan pengertian jasa perhotelan sebagaimana dimaksud di PP No. 144 Tahun 2000.

      Jasa perhotelan merupakan jasa yang tidak dikenakan PPN [bukan objek PPN]. Selain itu, jasa perhotelah bukan objek PPh Pasal 23 karena tidak disebutkan di PER-70/PJ/2007. Apakah objek PPh Pasal 22? Bukan juga karena objek PPh Pasal 22 merupakan pembelian atau belanja barang.

      Cag!

      Withholding Taxes

      Withholding Taxes

      Kami adalah perusahaan yang bergerak di luar konstruksi tp pada saat ini mendapat pekerjaan konstruksi per bulan dengan nilai 80.000.000 ( delapan Puluh Juta ).

      Yang ingin saya tanyakan adalah sbb :
      1. Apakah saat saya menagih harus menyertakan PPpn dan pph 23 ?
      2. Apakah saat menagih hanya total nilai tagihan saja ?
      3. Apakah hanya pph 23 saja ?
      3. Untuk proyek yang sedang sedang berjalan pph 23 dibayarkan langsung oleh pemakai jasa.

      Demikian email yang masuk pagi ini. Saya tertarik dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Kesan saya, penanya belum paham mekanisme perpajakan kita. Karena itu, selain dibalas langsung, saya posting jawaban yang lebih lengkap. Pembahasan lebih difokuskan kepada mekanisme withholding taxes [sering juga disebut potput].

      Withholding taxes merupakan salah satu sistem administrasi perpajakan yang banyak diterapkan di negara lain. Sistem ini memiliki keunggulan karena pajak dibayar pada saat penghasilan diterima. Jika penghasilan disudah diterima dan digunakan, maka sudah jadi kebiasaan dimanapun bahwa kita akan berat bayar pajak. Nah, withholding taxes kita adalah yang sering disebut PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPh Pasal 4 (2) Final. Selain itu PPN juga sebenarnya bagian dari withholding taxes.

      PEMOTONG PPh
      Pada umumnya withholding taxes dikenakan pada penyeraha jasa. Tetapi ada juga yang diterapkan pada beberapa jenis industri atau penyerahan barang, seperti di PPh Pasal 22. Atas jasa-jasa tertentu dipotong oleh pihak pemberi penghasilan. Salah satu jenis jasa yang dipotong oleh pemberi penghasilan adalah PPh atas jasa pelaksana konstruksi.

      Seandainya kita memberikan jasa kepada orang lian maka pihak pemberi penghasilan atau pengguna jasa kita atau klien harus [dibebani kewajiban] memotong PPh kita. Penghasilan yang kita terima dipotong dulu PPh. Jadi saat kita terima penghasilan maka kita terima penghasilan netto ditambah Bukti Pemotongan. Bukti Pemotongan ini nanti dilaporkan dan dikreditkan di SPT PPh kita.

      Khusus jasa konstruksi, karena berdasarkan pembayaran, maka saat kita menerima pembayaran maka pembayaran kita nanti akan dipotong oleh klien kita dengan PPh. Tetapi, tidak semua klien dapat memotong PPh. Pemotong PPh hanya diwajibkan pada Wajib Pajak yang berbentuk badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi [WPOP] tertentu.

      Siapa WPOP yang dapat memotong PPh? Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-50/PJ./1994 bahwa WPOP yang wajib [wajib karena sudah ditunjuk sebagai pemotong] memotong PPh Pasal 23 adalah
      [a]. Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
      [b]. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.

      Selanjutnya SE-08/PJ.4/1995 menjelaskan, yang dimaksud dengan konsultan adalah orang pribadi yang melakukan atau memberikan konsultasi sesuai dengan keahliannya seperti konsultan hukum, konsultan pajak, konsultan teknik dan konsultan di bidang lainnya.


      Bagaimana jika klien kita bukan pemotong PPh? Maka kewajiban PPh dibayar sendiri oleh penerima penghasilan. Khusus untuk jasa konstruksi, disebutkan di Pasal 5 ayat (1) huruf b PP No. 51 tahun 2008, yaitu, “disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal Pengguna Jasa bukan merupakan pemotong pajak.”


      PEMUNGUT PPN
      PPN sebenarnya pajak atas konsumsi yang dilakukan di wilayah RI atau daerah pabean. Karena pajak atas konsumsi maka pembayar PPN pada akhirnya konsumen atau end user. Tetapi mekanismenya, konsumen membayar PPN kepada penjual. Dan penjual membayar ke Kas Negara dengan metode PK – PM [pajak keluaran dikurangi pajak masukan].

      Tetapi, tidak semua penjual boleh memungut PPN. Hanya Wajib Pajak yang sudah dikukuhkan sebagai PKP oleh kantor pajak yang boleh memungut PPN. Akan tetapi, walaupun belum dikukuhkan sebagai PKP tetapi jika secara peraturan wajib memungut PPN maka kewajiban tersebut melekat sehingga si Wajib Pajak tersebut wajib dikukuhkan sebagai PKP baik dengan permohonan sendiri atau secara jabatan [jika dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu].

      PKP [pengusaha kena pajak] memiliki kewajiban memungut PPN atas penyerahan barang atau jasa kena pajak. Bukti pemungutan PPN adalah faktur pajak standar. Jika konsumen PKP merupakan end user [seperti toko eceran yang jual barang] maka cukup dibuatkan faktur pajak sederhana. Faktur pajak sederhana bisa hanya berupa bon atau nota penjualan. Pembuatan dan pelaporan faktur pajak sederhana memiliki konsekuensi bahwa pembeli tidak bisa mengkreditkan PPN yang telah dibayar. Karena itu, saya tekankan bahwa pembuatan faktur pajak sederhana ditujukan untuk konsumen end user.

      Jasa pelaksana konstruksi adalah jasa kena pajak. Penyedia jasa konstruksi wajib memungut PPN jika dia PKP. Dengan demikian, klien kita wajib membayar PPN sebesar 10% atas jasa yang dia nikmati.

      Prakteknya, kita dipotong PPh oleh konsumen sedangkan kita memungut PPN. Jika kita hitung-hitungan, kita dipotong PPh 4% [untuk penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi/sertifikat] sedangkan kita memungut 10%. Netto kita memungut 6%. Jika kontrak 80juta merupakan DPP [tidak include pajak] maka kita menerima 80juta + 6% = 84.8jt.



      PPh Pasal 21 Tenaga Ahli

      PPh Pasal 21 Tenaga Ahli

      Bagaimana cara menghitung pph 21 tenaga ahli suatu pekerjaan swakelola antara lembaga PTN dan salah satu dinas pemda. Pekerjaan tersebut dikerjakan selama 2 bulan dengan komposisi tenaga ahli 3 PNS dan 2 Non PNS. Bagaimana ya cara menghitung pph21 dari honor mereka?

      Atas jawabanya sy ucapkan terima kasih.

      tony

      Jawaban saya
      Email dari Pak Tony diatas masuk ke Spam. Saya tidak tahu, kenapa masuk spam padahal dari sesama Gmail. Kebetulan ada teman yang ngirim email tapi tidak masuk ke surat masuk. Setelah diteliti masuk ke spam.

      Sering kali saya langsung menghapus spam tanpa meneliti pengirimnya. Karena itu, mungkin saja beberapa email masuk yang bermaksud menanyakan perpajakan langsung dihapus. Karena itu, jika dalam dua minggu email belum dijawab, tidak ada salahnya mengirim email lagi. Kecuali tanya-nya iseng :-)

      PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh tenaga ahli sebesar 7,5%. Dari mana angka tersebut? Berikut kutipannya.

      Pasal 9 ayat (7) PER-15/PJ/2006
      (7) Atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 berdasarkan perkiraan penghasilan neto.
      (8) Perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Ayat (7) adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.


      Tarif PPh Pasal 21 diatur di Pasal 12. Karena PER-15/PJ/2006 merupakan perubahan dari KEP-545/PJ/2000 dan Pasal 12 tidak dirubah maka ketentuan tarif masih menggunakan KEP-545/PJ/2000. Inilah bunyi lengkapnya.
      Tarif sebesar 15% (lima belas persen) diterapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (8)

      Artinya, atas penghasilan tenaga ahli : pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris dipotong PPh Pasal 21 sebesar 50% x 15% atau tarif efektif 7,5%.

      Sekali lagi, tenaga ahli yang dimaksud di PPh Pasal 21 terbatas hanya pada profesi diatas. Selain itu, berarti masuk ke PPh Pasal 23.

      Salaam.

      Proyek dengan Dana Hibah Luar Negeri

      Proyek dengan Dana Hibah Luar Negeri

      Saya ada baca blog anda menyangkut pajak. Sedikit pertanyaan, kebetulan kantor kami adalah kantor dengan dana hibah yang menurut PP 42 tahun 95 proyek pemerintah yang dibiayai oleh dana hibah UN. Begitu juga dengan SK Menkeu no. 574/KMK.04/2000 kegiatan berbasis hibah adalah bebas pajak.

      Kebetulan saat ini kami akan berlangganan mesin fotocopi yang dikenakan pajak dan kami telah mengirimkan surat pembebasan pajak disertai dokumen-dokumen pendukung (nomor hibah dari menkeu). Perlukah adanya NPWP bagi proyek mengingat kami bukanlah Wajib Pajak?

      Perusahaan persewaan mesin fotocopi itu, dalam hal ini pt astragraphia menanyakan NPWP proyek kami, terus terang kami agak bingung dengan hal tersebut. Bisakah bapak membantu? terimakasih sebelumnya.


      Regards,
      Ailsa Amila
      SSPDA Bappenas
      Jl. Bappenas B 5 Jakarta Selatan
      Tel/fax: 021-52907099


      Wajib Pajak
      Pertama, NPWP adalah identitas menurut kantor administrasi pajak [DJP]. Seharusnya, tanpa identitas [tanpa NPWP], kantor pajak tidak mengenal siapa pun. Berikut adalah pengertian NPWP:
      Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.


      Perhatikan kata-kata : sarana dalam administrasi dan pengenal diri.

      Kedua tentang proyek. Berikut adalah pengertian badan menurut UU KUP:
      Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.


      Perhatikan kata-kata berikut, " sekumpulan orang .. yang tidak melakukan usaha .. dan bentuk badan lain ..." Pendapat saya, proyek termasuk dalam pengertian badan dalam UU KUP.


      Ketiga, proyek di dijalankan oleh orang pribadi. Ada upah untuk orang pribadi tersebut sebagai imbalan [apapun namanya] atas aktivitas tersebut. Jika mengacu ke peraturan perpajakan, setiap orang [proyek juga bisa disebut orang secara hukum] yang memberikan penghasilan kepada orang lain wajib memotong PPh jika melebihi PTKP. Berikut adalah kata-kata yang ada di Pasal 21 ayat (1) UU PPh 1984 :
      Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh :
      a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;


      Dalam hal ini pemberi kerja berarti proyek. Proyek memiliki kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

      Keempat, pengertian Wajib Pajak :
      Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.


      Berkaitan dengan proyek, Wajib Pajak adalah "badan yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan"

      Kesimpulannya, proyek juga Wajib Pajak. Pengecualian sebagai Wajib Pajak hanya bisa dilakukan oleh Menteri Keuangan berdasarkan kuasa Pasal 3 huruf c UU PPh 1984.

      Perlukah adanya NPWP bagi proyek mengingat kami bukanlah Wajib Pajak?
      Kalau pendapat saya perlu. Proyek apapun namanya, walaupun bersifat nirlaba, akan lebih diterima oleh kantor pajak jika berNPWP. Jika proyek tersebut bubar, beritahu kantor pajak bahwa proyek tersebut SELESAI sehingga nanti NPWP dihapus.


      Pengecualian Subjek Pajak
      Pasal 3 UU PPh 1984 memberikan pengecualian beberapa “orang” sebagai subjek Pajak, yaitu :
      a. badan perwakilan Negara asing,
      b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik,
      c. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan,
      d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

      Jika proyek ibu termasuk Subjek Pajak yang dikecualikan oleh Menteri Keuangan, disebutkan secara khusus, berarti proyek ibu bukan Wajib Pajak. Di Keputusan Menteri Keuangan No. 574/KMK.04/2000 saya tidak menemukan SSPDA.

      Hibah atau Pinjaman Luar Negeri
      Apakah proyek yang dibiayai oleh APBN dibebaskan dari kewajiban perpajakan? Tidak. Salah satu alasannya adalah asas keadilan. Contoh : PT A mengerjakan bangunan milik pemerintah. PT B mengerjakan bangunan milik non-pemerintah. Masing-masing proyek sama memiliki dan spesifikasi sama. Jika PT A dibebaskan dari kewajiban perpajakan maka tentunya tidak adil “dong” karena penghasilan bersih (setelah Pajak) yang diterima PT A akan lebih besar daripada yang diterima PT B padahal nilai proyeknya sama.

      Secara teori harus adil. Undang-undang perpajakan juga menghendaki demikian. Tetapi, khusus proyek yang dibiayai dengan hibah atau pinjaman Luar Negeri ada perlakuan khusus. Kabar / gosip yang saya tahu sih karena keinginan pemberi hibah dan kreditor. Kasarnya sih begini, “Aku bersedia memberi hibah asal tidak dipotong Pajak.” Karena syaratnya bebas pajak padahal undang-undang perpajakan tidak mengatur, maka pemerintah menanggung semua beban pajak. Walaupun dana proyek sama-sama berasal dari APBN, tetapi ada perbedaan perlakuan perpajakan antara proyek dengan dana hibah atau proyek dengan dana pinjaman Luar Negeri dengan proyek yang dibiayai dari pajak :-)

      Pajak Pertambahan Nilai sebenarya terutang tetapi tidak dipungut. Pajak Penghasilan sebenarnya terutang tetapi ditanggung oleh Pemerintah. Prakteknya, memang bebas pajak. Tetapi beda pengertian “bebas pajak” dengan “ditanggung oleh Pemerintah”.

      SSPDA
      Ibu Amila bilang, “kantor kami adalah kantor dengan dana hibah”. Walaupun SSPDA merupakan Wajib Pajak dan memiliki NPWP tetapi karena merupakan proyek yang dibiayai oleh hibah atau pinjaman luar negeri maka atas Pajak Penghasilan yang terutang ditanggung oleh Pemerintah, atas Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang, tidak dipungut. Dan, dibebaskan dari Mea Masuk dan Bea Masuk Tambahan.

      Khusus tentang Pajak Penghasilan, tidak semua pemasok proyek PPh-nya ditanggung oleh Pemerintah. Saya kutip Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2001 yang merupakan perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 1995 :
      Pajak Penghasilan yang terhutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan dan pemasok (supplier) utama dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah dan atau dana pinjaman luar negeri, ditanggung oleh Pemerintah


      Perhatikan kata "utama". Kata utama maksudnya kontraktor, konsultan, dan pemasok lapisan pertama. Biasanya lapisan pertama adalah pemenang tender atau yang ditunjuk langsung oleh proyek. Sedangkan lapisan kedua ditunjuk oleh lapisan pertama. Pemasok, konsultan, dan kontraktor lapisan kedua kewajiban PPh-nya dikembalikan kepada UU PPh pada umumnya.

      Artinya, tidak semua pemasok yang PPh-nya ditanggung oleh Pemerintah. Jika bukan pemasok utama tentu SSPDA wajib memotong PPh Pasal 23 karena PPh yang diterima oleh pemasuk tidak ditanggung oleh Pemerintah.

      Nah, sekarang kita posisikan bahwa semua pemasok [termasuk pemasok mesin fotokopi] adalah pemasok utama proyek. Berarti PPh si pemasok ditanggung oleh Pemerintah. Penghasilan atas sewa yang didapatkan dari proyek, PPh-nya ditanggung oleh Pemerintah. Karena perlakuannya “ditanggung oleh Pemerintah” maka tentunya harus ada pemisahan penghasilan. Tidak boleh digabung dengan penghasilan sewa lain. Ini dilihat dari sisi pemasok.

      Apakah proyek memotong PPh Pasal 23 atas sewa tersebut? Pendapat saya, tidak perlu! Karena PPh pemasok ditanggung oleh Pemerintah berarti tidak ada PPh yang wajib dipotong oleh proyek. Jika proyek memotong PPh Pasal 23 atas sewa, maka pemasok akan “kelebihan” PPh. Pertama, PPh yang ditanggung oleh Pemerintah. Kedua, PPh yang dipotong oleh proyek. Jika ini terjadi, maka PPh yang dipotong oleh proyek dapat diminta kembali atau direstitusi.

      Supaya tidak dipotong, apakah pemasok [atau proyek] harus membuat SKB? Terus terang, saya sendiri tidak tahu. Seminggu kemarin, saya cari-cari SOP yang berkaitan dengan PP No. 42 tahun 1995. Hasilnya Nihil. Karena itu, saya berkesimpulan tidak perlu dibuatkan SKB [surat keterangan bebas].

      Keterangan atau dokumen lain yang menunjukkan bahwa proyek tertentu dibiayai oleh hibah atau pinjaman Luar Neger bisa dijadikan rujukan bahwa atas
      [1]. Mea Masuk dan Bea Masuk Tambahan yang terutang, dibebaskan.
      [2]. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang, tidak dipungut.
      [3]. Pajak Penghasilan yang terutang ditanggung oleh Pemerintah.

      Cag!

      Cicilan Pajak

      Cicilan Pajak

      Saya mau tanya : apabila dalam perusahaan saya menerima penghasilan lain2 yg telah dikenakan PPH ps 23 atas Jasa Manajemen, Jasa Perantara dan bunga Obligasi, bunga bank dan Komisi yg sudah dikenakan PPN.
      Apakah atas penghasilan tsb turut diperhitungkan sebagai pendapatan dalam menghitung PPH 25 (Badan) atau dikoreksi negatif karena telah dipotong pajak PPh ps 23 ?
      Kalau diperhitungkan sebagai pendapatan kembali (dalam SPT Tahunan - Badan) berarti kena pajaknya 2 kali dong : PPh 23 dan PPh 25 (tarif progresif) ?

      Terima kasih sebelumnya atas waktu dan jawabannya yg akan sangat membantu.

      Salam,
      Augustinus

      Jawaban saya:
      Mohon dibedakan PPh Pasal 25 dengan PPh Badan. PPh Pasal 25 adalah cicilan atas PPh Badan yang disetor setiap bulan berdasarkan pajak terutang tahun lalu. PPh Pasal 25 pada akhir tahun akan menjadi kredit pajak.

      PPh Badan terutang dikurangi kredit pajak akan menjadi kurang atau lebih bayar. Jika kurang bayar, maka kekurangannya disebut PPh Pasal 29 yang harus disetor paling lambat tanggal 25 Maret sebelum SPT disampaikan. Jika lebih bayar, maka SPT akan menunjukkan lebih bayar dan biasa disebut SPT LB. Atas lebih bayar ini bisa direstitusi.
      Ini bunya Pasal 29 UU PPh 1984.
      Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 (dua puluh lima) bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan.

      PPh Pasal 23 adalah cicilan atas PPh Badan. Sama dengan PPh Pasal 25. Bedanya dengan PPh Pasal 25 adalah rutinitas bayar. PPh Pasal 25 dibayar setiap bulan. Bahkan jika tidak dibayar, petugas KPP bisa menagih ditambah sanksi bunga yang disebut STP. Sedangkan PPh Pasal 23 dibayar / dipotong oleh pihak ketiga ketika kita mendapatkan penghasilan. Pajak dibayar saat mendapatkan penghasilan. Inilah PPh Pasal 23.

      Kredit Pajak terdiri dari : PPh Pasal 21 [dikreditkan oleh karyawan di PPh OP], PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 24, PPh Pasal 25, PPh Pasal 26 [dikreditkan oleh WP OP yang semula WPLN berubah menjadi WPDN].

      Berbeda dengan yang sering disebut PPh Final. PPh "jenis" ini bukan cicilan atas PPh Badan atau PPh OP. Karena itu, dalam pembuatan SPT PPh Badan / OP, penghasilan yang PPh-nya final, pelaporannya dipisahkan. PPh Final "disatukeranjangkan" dengan bukan objek, sehingga tidak terkena PPh Badan / OP. PPh Final biasanya diatur tersendiri dan didasarkan pada Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984. Karena itu, seringkali disebut PPh Pasal 4 (2) Final. Inilah bunya Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984
      Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

      Perhatikan kata “serta penghasilan tertentu lainnya” Kata-kata ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan jenis-jenis penghasilan mana saja yang dijadikan final seperti bung deposito.

      Final, seperti dalam pertandingan olah raga :-) bahwa pertandingan final adalah pertandingan terakhir. Demikian pula di PPh Final. Final maksudnya bahwa kewajiban pembayaran pajaknya selesai pada saat dipotong oleh orang lain. Penerima penghasilan hanya memiliki kewajiban melaporkan penghasilan tersebut di SPT Tahunan. Asal penghasilan brutonya jelas, maka jumlah pajak yang disetor pasti benar karena jelas tarif efektifnya.

      Cag!

      Pemborong WPOP

      Pemborong WPOP

      Tanya: WP OP Punya Industri dgn Pembukuan,PKP,th 2007 usahanya ditutup karena rugi, Kary semua di PHK, asset dan sisa bahan dijual rugi, spt 2006 rugi, spt 2006 rugi, sampai 2008 penjualan mesin dan asset pabrik masih berlangsung,bagaimana membuat laporan pajaknya u/: mesin2 yg dibeli langsung atau via Leasing u/, perlakuan PPN nya, dan pembukuan hasil penjualan mesin dan sisa bahan baku bagaimana, juga u/, penjualan tanah dan bangunan spt PPH 25?, karena masih ada lewajiban Hutang pada bank dan supplier, lalu setelah lunas hutang2nya,WP OP sdh tidak ada usaga lagi apakah masih wajib pembukuan, dan angsuran pph 25 nya gimana. tolong yah pak Raden sebab ini untuk temanku yg 25 th usahanya bangkrut.

      Jawaban saya:
      Wah, 25 tahun bangkrut ya? Masih bisa bertahan, boleh diacungi jempol tuh :-)

      Biar lebih sederhana saya jawab dengan dasar-dasarnya saja:
      [a]. PPh adalah pajak atas penghasilan Wajib Pajak. Jika rugi, otomatis tidak ada PPh OP dong!

      [b]. SPT wajibun kudu dibuat, ditandatangani dan dilaporkan ke KPP. Isinya bisa Cuma tanda tangan doang [karena tidak ada kegitatan] atau ditambah lampiran surat pernyataan bahwa sudah tidak memiliki usaha lagi.

      [c]. Penjualan mesin dan asset pabrik wajibun kudu dilaporkan di SPT Tahunan PPh OP.

      [d]. Atas penjualan aktiva perusahaan yang pada waktu perolehannya “dapat” dikreditkan sebagai pajak masukan, terutang PPN Pasal 16D.

      [e]. Pencatatan hasil penjualan asset : hasil penjualan dicatat sebagai penghasilan, sedangkan saldo nilai buku dicatat sebagai biaya. Penyusutan yang dilakukan sampai dengan bulan penjualan. Contoh : dijual bulan April 2007. Maka biaya penyusutan dihitung sampai bulan April 2007. Jika ada saldo nilai buku, langsung disusutkan sekaligus. Jika ingin praktis sih bisa saja penyusutan dihitung dari saldo nilai buku akhir tahun sebelumnya, per 31 Desember 2006.

      [f]. Atas penjualan tanah dan bangunan, wajib bayar PPh sebesar 5% dari total transaksi atau NJOP [mana yang lebih tinggi]. Tetapi jika transaksi atau NJOP kurang dari Rp.60.000.000 [enam puluh juga rupiah] bukan objek PPh Pasal 25. Ini adalah cicilan PPh. Tetapi jika usaha pokok WPOP Cuma jualan tanah dan bangunan, PPh yang 5% ini menjadi final. Sedangkan selain itu tidak final. Artinya, bisa dikreditkan di PPh OP.

      Itu saja. Jika masih belum jelas, lebih baik kirim email saja lah.
      Cag!

      Pemborong Bangunan WP OP

      Pemborong Bangunan WP OP

      ana Mau tanya tentang kewajiban perpajakan untuk pemborong bangunan WP OP, sebelumnya terima kasih

      Jawaban saya:
      Pemborong bangunan dalam istilah perpajakan kita sering disebut pelaksana konstruksi. Jasa yang diberikan oleh pemborong adalah jasa pelaksanaan konstruksi. Syarat seseorang disebut “perusahaan” konstruksi adalah memiliki ijin atau sertifikasi sebagai perusahaan konstruksi. Sertifikasi biasanya dikeluarkan oleh asosiasi konstruksi.

      Apabila pemborong memiliki sertifikasi atau ijin sebagai perusahaan konstruksi maka atas pekerjaannya merupakan jasa pelaksanaan konstruksi yang kenakan PPh Pasal 23 sebesar 2%. Berarti kalau tidak punya sertifikasi perusahaan konstruksi bukan objek PPh Pasal 23? Tidak juga! Tetep atas pekerjaan tersebut merupakan objek PPh Pasal 23 tetapi namanya bukan jasa pelaksanaan konstruksi. Selain itu, pekerjaan yang merupakan objek PPh Pasal 23 juga terbatas untuk instalasi / pemasangan / perawatan / pemeliharaan / perbaikan. Atas penghasilan dari pekerjaan ini terutang PPh Pasal 23 sebesar 4,5%. Lebih besar kan?

      Sebenarnya, PPh Pasal 23 hanyalan cicilan pajak. PPh Pasal 23 yang telah kita bayar [dengan dipotong oleh pemberi penghasilan] dapat dikreditkan sebagai PPh OP. Dan untuk menghitung PPh OP pasti menggunakan tarif progresif, yaitu 5% s.d. 35%.

      Hanya saja, kalau PPh Pasal 23 berdasarkan penghasilan bruto. Sedangkan PPh OP berdasarkan penghasilan bersih. Bisa jadi, sebenarnya kita mengalami kerugian sehingga kita seharusnya tidak terutang PPh. Karena itu, atas PPh Pasal 23 yang telah dipotong oleh orang lain bisa dimintakan restitusi atau pengembalian pajak.

      Cag!

      BII Kaji Insentif Pajak Merger

      BII Kaji Insentif Pajak Merger

      -- Koran SINDO - 13-Feb-2008 --
      JAKARTA (SINDO) — PT Bank International Indonesia (BII) terus mengkaji pemberian insentif pajak merger sebesar 30% dan opsi merger dengan PT Bank Danamon Indonesia Tbk. ”Untuk merger, kami masih terus mengkaji opsi tersebut dan lihat saja keputusannya nanti.Jadi, saat ini belum banyak progres dan masih menunggu klarifikasi dari Bank Indonesia maupun Ditjen Pajak,” ujar Presiden Direktur BII Henry Hoo seusai penandatanganan kerja sama dengan Mandala Airlines di Jakarta kemarin. Menurut Henry, untuk kepentingan itu,Temasek Holdings sebagai pemegang saham pengendali sudah menyampaikan surat ke Bank Indonesia (BI). Opsi yang dipilih adalah merger antara perseroan dengan Bank Danamon. Namun, ada beberapa isu yang masih diselesaikan, yaitu insentif pajak merger dan harus mendapat kepastian sebelum melangkah lebih lanjut. Henry menuturkan dalam merger akan ada selisih antara nilai pasar dan nilai buku yang terkena pajak.Besarnya sekitar 30% dan hal ini yang akan diminta klarifikasi. Sebab, belum jelas apakah hal ini termasuk subjek pajak. Namun, perseroan tetap berkomitmen mematuhi kebijakan kepemilikan tunggal (single presence policy/SPP) dari BI pada 2010. ”Pembicaraan ini masih dilakukan dengan kedua perseroan dan kami masih mengeksplorasi setiap opsi. Masih ada waktu untuk menjernihkan segala hal sehingga bisa bergerak ke arah yang tepat,” paparnya. (tomi sujatmiko)

      Komentar saya:
      Wah, baru saja saya posting tentang merger. Menyambung posting sebelumnya bahwa merger atau restrukturisasi pada umumnya harus diletakkan pada nilai pasar dan transaksi wajar. Salah satu tujuan restrukturisasi adalah mencari nilai lebih, mencari keuntungan.

      Beberapa kata sengaja saya beri bold sekedar untuk dikomentari. Namanya komentar tidak selalu benar, dan tidak dapat dijadikan acuan.
      ada selisih antara nilai pasar dan nilai buku yang terkena pajak

      Selisih antara harga jual (realisasi) dengan nilai buku sering disebut [terutama saya sendiri] capital gain jika menguntungkan atau capital loss jika merugikan. Menguntungkan artinya harga jual lebih besar daripada nilai buku.

      Perlakuan perpajakan sebenarnya sangat serasi dengan prinsip akuntansi yang berlaku. Ini bunyi Pasal 10 ayat (2) UU PPh 1984:
      Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.

      Capital gain adalah objek PPh. Salah satu objek PPh yang disebutkan di Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh 1984 adalah
      keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;

      dan ini adalah salah satu kalimat di memori penjelasan pasal tersebut :
      Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan.

      Hanya saja, Menteri Keuangan dapat memberikan fasilitas perpajakan untuk restrukturisasi dengan syarat-syarat tertentu. Dasar kewenangan Menteri Keuangan ada di Pasal 10 ayat (3) UU PPh 1984:
      Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.

      Karena itu, Menteri Keuangan kemudian memberikan batasan, Wajib Pajak mana yang dapat memperoleh fasilitas restrukturisasi. Batasan-batasan dimaksud telah diatur di Keputusan Menteri Keuangan No. 469/KMK.04/1998, Pasal 4
      (1) Untuk dapat melakukan penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3, Wajib Pajak wajib mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait.

      (2) Wajib Pajak yang melakukan penggabungan atau peleburan usaha dengan menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak boleh mengalihkan kerugian/sisa kerugian badan usaha lama, kecuali :
      a. Wajib Pajak tersebut melakukan revaluasi aktiva tetapnya terlebih dahulu; dan
      b. masih aktif menjalankan usahanya; dan
      c. Wajib Pajak yang menerima penggabungan usaha atau Wajib Pajak hasil peleburan usaha harus aktif menjalankan usaha sekurang-kurangnya sampai dengan 2 (dua) tahun setelah selesainya proses penggabungan atau peleburan usaha.

      dan ini tambahan di pasal, Pasal 4A ada di Keputusan Menteri Keuangan No.211/KMK.03/2003
      Dalam rangka penawaran umum perdana (Initial Publik Offering), Wajib Pajak yang telah menerima pengalihan harta dengan nilai buku dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha tanpa melakukan revaluasi aktiva tetap, dapat menerima pengalihan kerugian fiskal dari Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dan melakukan kompensasi kerugian fiskal sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan yang berlaku, setelah terlebih dahulu mendapatkan izin dari Menteri Keuangan dan melakukan penilaian kembali atas seluruh aktiva tetap perusahaan dari Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dengan harga pasar yang berlaku pada waktu penggabungan atau peleburan usaha dilakukan.

      Selanjutnya nyambung ke posting sebelumnya.

      cag!

      Fasilitas Perpajakan Bagi Restrukturisasi Perusahaan

      Fasilitas Perpajakan Bagi Restrukturisasi Perusahaan

      Salam Kenal Pak Raden.
      Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan mengenai PPh dan PPN berkaitan dengan konsolidasi bank. Apa dasar pengenaan PPh dan PPN bagi bank yang melakukan merger, konsolidasi dan akuisisi? Dalam surat kabar banyak diberitakan mengenai insentif pajak berkenaan dengan hal tersebut, mungkinkah pajak2 tersebut diberikan insentif? Apa dasarnya? Benarkah Dirjen pajak pernah memberikan insentip pajak untuk bank yang melakukan konsolidasi (kalo tidak salah ketika konsolidasi bank mandiri)?
      Mohon penjelasan bapak, atas bantuan dan perhatiannya saya ucapkan terimakasih.
      iwan ismail

      Jawaban saya:
      Terus terang saya agak bingung juga jawabnya. Tetapi saya coba jawab secara umum saja bahwa merger seperti Bank Mandiri dimungkinkan mendapatkan fasilitas bebas PPh dan PPN. PPh yang dibebaskan adalah PPh atas pengalihan tanah dan bangunan sebesar 5% dari total nilai pasar aktiva tanah dan bangunan yang dialihkan. Seharusnya PPh ini dipungut dan dibayar oleh “pembeli aktiva” atau acquiring company.

      Dan, PPN yang dibebaskan adalah PPN Pasal 16D, yaitu PPN dikenakan atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan. Memang wajarnya, transferor company harus membayar PPN ini sebesar 10% dari nilai pasar aktiva yang diserahkan. Aktiva yang menjadi objek PPN Pasal 16D adalah aktiva yang pada saat perolehannya pajak masukannya dapat dikreditkan.

      Bukan hanya itu, BPHTB pun bisa mendapat pengurangan sebesar 100% alias gratis bayar BPHTB. Semestinya, BPHTB ini wajib dibayar oleh pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan atau aquiring company sebesar 5% dari total nilai pasar atau NJOP tanah dan bangunan setelah dikurangi NPOPTKP.

      Khusus merger Bank Mandiri, pengurangan BPHTB ini diatur secara khusus (Bank Mandiri disebutkan) di Keputusan Menteri Keuangan No. 181/KMK.04/1999, No. 87/KMK.03/2002, 561/KMK.03/2004, dan Peraturan Menteri Keuangan No. 104/PMK.01/2005, dan No. 91/PMK.03/2006.

      Bagaimana mendapatkan fasilitas tersebut? Mudah saja! Aquiring Company dalam kurun waktu kurang dari 6 (enam) bulan sejak tanggal merger harus mengajukan permohonan persetujuan pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku ke Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat. Satu bulan sejak permohonan diterima, Kanwil wajib mengeluarkan persetujuan atau penolakan. Jika permohonan diterima maka dapatlah fasilitas diatas. Jika ditolak maka melayanglah fasilitas diatas.

      Panduan lebih lanjut tentang restrukturisasi perusahaan silakan unduh disini saja. Ada syarat-syarat lebih teknis yang tidak disebutkan diposting ini.



      Mengangsur PBB

      Mengangsur PBB

      apakah pembayaran pbb dapat diangsur? diatur di manakah itu kalau misalnya bisa dilakukan pengansuran?

      Jawaban saya :
      Pasal 10 ayat (2) UU KUP :
      Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.


      Pasal 7 Keputusan Menteri Keuangan No. 541/KMK.04/2000 :
      Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang terutang bertambah serta Pajak Penghasilan Pasal 29, kepada Direktur Jenderal Pajak dalam hal ini Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, apabila Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban pajaknya pada waktunya.


      Dari peraturan diatas, saya menyimpulkan bahwa tidak ada peraturan yang membolehkan pembayaran PBB diangsur. Aturan mengangsur pajak hanya untuk pajak yang terutang dalam :
      * Surat Tagihan Pajak,
      * Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
      * Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan
      * Surat Keputusan Pembetulan,
      * Surat Keputusan Keberatan,
      * Putusan Banding, serta
      * Pajak Penghasilan Pasal 29

      Tetapi jika merasa terlalu berat, Wajib Pajak dapat meminta pengurangan pembayaran PBB.
      Pengurangan PBB yaitu pemberian keringanan pembayaran PBB yang terutang atas Objek PBB dapat diberikan kepada (berdasarkan Buku Informasi Perpajakan 2004] :
      [a] Wajib pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu Objek PBB yang ada hubungannya dengan Subjek PBB dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya, yaitu :

      [a.1.] lahan pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang dimiliki/dikuasai atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi;

      [a.2] Objek PBB yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat disebabkan karena adanya pembangunan atau perkembangan lingkungan;

      [a.3] Objek PBB yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiun, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;

      [a.4] Objek PBB yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;

      [a.5] Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan;

      Pemberian pengurangan dapat diberikan setinggi-tingginya 75% (tujuh puluh lima persen) dan ditetapkan berdasarkan kondisi/penghasilan Wajib Pajak.

      [b] Wajib Pajak Orang Pribadi dalam hal objek PBB terkena bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus, dan sebagainya serta sebab-sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran, kekeringan, wabah penyakit, dan hama tanaman.

      Untuk kondisi Wajib Pajak ini dapat diberikan pengurangan sampai dengan 100% (seratus persen).

      [c] Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan termasuk janda/dudanya. Pemberian pengurangan ditetapkan 75% (tujuh puluh lima persen), akan tetapi bagi janda/dudanya telah menikah lagi diberikan setinggi-tingginya 75% (tujuh puluh lima persen) dan ditetapkan berdasarkan kondisi/penghasilan Wajib Pajak.


      Sewa Tanah

      Sewa Tanah

      gimana kewajiban pajaknya dan kapan harus dibayar ketika kita mendapatkan penghasilan atas sewa tanah yang belum ada kontraknya tp udah ada faktur pjk.

      Jawaban saya:
      Penghasilan atas sewa tanah! Berarti kita sebagai pemilik tanah, kemudian menyewakan kepada orang lain. Atas transaksi ini terutang PPh atas sewa tanah dan atau bangunan sebesar 10%.

      Pasal 3 PP No. 29 tahun 1996 yang dirubah dengan PP No. 5 tahun 2002 menyebutkan :
      Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau dibayar sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final.


      Kewajiban ini terutang pada saat diterima atau diperoleh, mana yang lebih dulu. Jika pembayaran atas sewa lebih dahulu maka PPh terutang pada saat pembayaran tersebut walaupun formalitasnya dilaksanakan beberapa waktu kemudian. Jika penyewa merupakan pemotong PPh maka atas PPh diatas dipotong oleh pemotong. Tetapi jika bukan pemotong maka kewajiban tersebut dibayar sendiri oleh pemilik bangunan dan atau tanah.

      Cag!

      Iklan