Tampilkan postingan dengan label PPh Pasal 4 (2). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PPh Pasal 4 (2). Tampilkan semua postingan
Kewajiban Lapor Penghasilan dari Penjualan Tanah ke Kantor Pajak

Kewajiban Lapor Penghasilan dari Penjualan Tanah ke Kantor Pajak

raden agus suparman : penjual tanah dan bangunan wajib lapor ke kantor pajak
Mulai tahun 2017 ada kewajiban baru bagi wajib pajak yang menjual tanah. Siapapun penjual tanah dan/atau bangunan termasuk rumah wajib melaporkan penjualan tersebut ke kantor pajak paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan penjualan. Pengecualian kewajiban ini hanya berlaku bagi pemilik tanah yang berstatus Wajib Pajak Luar Negeri.


Peraturan Menteri Keuangan nomor 261/PMK.03/2016 mengatur bahwa orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, wajib menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang ke Kas Negara, sebelum akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.

Kemudian di Pasal 9 diatur kewajiban melaporkan 

  • penghasilan yang diterima atau diperoleh, dan 
  • Pajak Penghasilan yang telah dibayar dalam suatu Masa Pajak
melalui Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2), paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak. Masa pajak pada umumnya diartikan sebagai bulan terjadinya penjualan. 

Misal tanah terjual dan diterima pembayaran bulan Februari 2017 maka masa pajaknya Februari 2017. Kemudian pelaporan penghasilan dan PPh wajib dilakukan paling lambat tanggal 20 Maret 2017.

Format laporan adalah SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2). Jangan lupa, laporan hanya dapat diterima jika Pajak Penghasilan sudah disetor. Dan pembayaran pajak hanya bisa dilakukan jika sudah dibuatkan kode billing

Laporan SPT Masa disampaikan ke:

  • Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan, bagi Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
  • KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan dimana Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan yang bersangkutan diadministrasikan, bagi orang pribadi atau badan selain Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. 

Misal, saya terdaftar di KPP Jakarta Tebet karena dulu bikin NPWP di KPP Tebet, maka laporan diatas disampaikan ke KPP Jakarta Tebet. 

Tetapi lapor SPT bisa juga melalui online di laman djponline.pajak.go.id 
Sebelum lapor melalui djponline.pajak.go.id Wajib Pajak membuat SPT elektronik dulu. Silakan unduh dulu eSPT PPh Pasal 4 (2).

Lapor online bisa juga melalui laman online-pajak.com
Laman ini sudah mendapat persetujuan dari otoritas pajak Indonensia.


Cek tulisan terbaru di aguspajak.com/blog 

 
  

aturan baru pajak penghasilan penjualan tanah

aturan baru pajak penghasilan penjualan tanah

Sejak bulan September 2016, Pemerintah Jokowi telah merevisi aturan Pajak Penghasilan atas penjualan tanah dan atau bangunan. Selain menurunkan tarif, aturan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 34 Tahun 2016 ini mengubah dasar pengenaan dan subjek pembayar pajak. Tarif turun dari semula 5% menjadi hanya 2,5% saja. Dan subjek yang wajib menggunakan peraturan pemerintah ini bukan hanya penjual tanah dan atau bangunan yang mengurus sertifikat hak milik tetapi mereka yang memang jualan tanah dan atau bangunan.
Menurut informasi yang beredar di media, penurunan tarif PPh dilakukan dalam rangka mendorong investasi real estat dan pasar modal. Jadi peraturan pemerintah ini bagian dari insentif perpajakan untuk mendorong pasar properti.

Tarif baru diatur di Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 34 Tahun 2016, yaitu:

  • 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
  • 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;atau
  • 0% (nol persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Menarik diperhatikan bahwa atas penjualan tanah untuk kepentingan umum adalah 0%. Ini artinya bebas PPh sama sekali. Jika tidak disebut tarif 0% ada yang berpendapat perlakukan perpajakan kembali ke ketentuan umum.

Selain itu, pembebasan lahan yang menikmati tarif 0% tidak hanya pembebasan lahan yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi termasuk pembebasan lahan yang dilakukan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Syaratnya ada penugasan khusus dari Pemerintah atau kepala daerah untuk pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

raden agus suparman : tarif PPh pengalihan tanah dan atau bangunan


Hal yang baru lagi dalam peraturan pemerintah ini adalah nilai pengalihan. Dalam peraturan pemerintah sebelumnya (Peraturan Pemerintah nomor 48) nilai pengalihan adalah nilai tertinggi antara NJOP dan nilai akta. Hal ini diatur di Pasal 4 ayat (2)
Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan 
Aturan ini memiliki kelemahan karena pada kenyataannya nilai penjualan tanah atau nilai pasar tanah hampir semua diatas NJOP. Bahkan ada yang berlipat-lipat dari NJOP. Begitu juga dengan nilai akta, pada kenyataannya sering disamakan dengan nilai NJOP. Walaupun dinaikkan dari NJOP tetapi sekedarnya. Jadi, nilai yang dimaksud tidak mencerminkan keadaan sebenarnya.

Sedangkan di peraturan pemerintah yang baru, nilai pengalihan adalah nilai sebenarnya atau nilai wajar. Hal ini diatur di Pasal 2 ayat (2) dan (3) :

Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

  1. nilai berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang, dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah;
  2. nilai menurut risalah lelang, dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Vendu Reglement Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 beserta perubahannya);
  3. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;
  4. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;atau
  5. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak. 
Nah, supaya tidak kecolongan lagi, peraturan pemerintah ini memberikan dasar hukum dilakukannya penelitian surat setoran pajak atau bukti pembayaran pajak lainnya. Ketentuan dimaksud dicantumkan di Pasal 3 ayat (5) :
Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila kepadanya dibuktikan oleh orang pribadi atau badan dimaksud bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan yang telah dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak.

Kewajiban validasi SSP tidak hanya berlaku bagi yang berurusan dengan sertifikat tanah. Penjual yang hanya "mengikatkan" dengan PPJB pun berlaku validasi. Hal ini diatur di Pasal 5 ayat (2) :
Pihak penjual hanya menandatangani perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli apabila kepadanya dibuktikan bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan, yang telah dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak. 
Dengan demikian, peraturan pemerintah ini mengikat bagi:
  • konsumen akhir (berkepentingan dengan sertifikat kepemilikan tanah sebagai bukti kepemilikan);
  • perantara atau pedagang seperti: agen properti, investor properti, atau pengembang (biasanya mereka tidak butuh sertifikat kepemilikan karena tujuan beli untuk dijual kembali sehingga dokumen yang digunakan sering PPJB saja).
Termasuk pengembang yang dituju oleh peraturan pemerintah ini adalah pengembang kecil yang bekerja sama dengan pemilik tanah. Misal tanah punya tuan Adi sedangkan yang membangun dan menjual rumah tuan Budi. Nah, kasus seperti ini di lapangan sering membingunkan siapa yang bayar PPh Final pengalihan tanah dan/atau bangunan, apakah tuan Adi atau Budi.

Turunan dari peraturan pemerintah ini akan dibuatkan peraturan menteri keuangan. Namun sampai dengan tulisan ini dibuat, nampaknya belum selesai.


🙋





Bebas Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito Devisa Hasil Ekspor

Bebas Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito Devisa Hasil Ekspor

Pajak Penghasilan Bunga Deposito Devisa Hasil Ekspor
gambar dari bisnis.com
Pengenaan penghasilan yang berasal dari bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia kenaikan PPh Final. Dasar hukumnya Peraturan Pemerintah nomor 131 tahun 2000. Peraturan pemerintah ini baru direvisi kembali pada tahun 2015 yaitu dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 123 tahun 2015  khusus mengatur tentang Pajak Penghasilan Bunga Deposito Devisa Hasil Ekspor.


PP Nomor 123 Tahun 2015 hanya mengubah Pasal 2 dari PP 131 Tahun 2000. Biar lebih jelas ini saya bandingkan:

Pasal 2 PP 131 Tahun 2000:
Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat  Bank  lndonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah sebagai berikut :
a. dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
b. dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri.
 

Pasal 2 PP 123 Tahun 2015:
Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah sebagai berikut:
a. Atas bunga dari deposito dalam mata uang dolar Amerika Serikat yang dananya bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
1. Tarif 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 1 (satu) bulan;
2. Tarif 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan;
3. Tarif 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 6 (enam) bulan; dan
4. Tarif 0% (nol persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu lebih dari 6 (enam) bulan.

b. Atas bunga dari deposito dalam mata uang rupiah yang dananya bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
1. Tarif 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 1 (satu) bulan;
2. Tarif 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan; dan
3. Tarif 0% (nol persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 6 (enam) bulan atau lebih dari 6 (enam) bulan.

c. Atas bunga dari tabungan dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia, serta bunga dari deposito selain dari deposito sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
1. Tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
2. Tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri.

Di peraturan pemerintah disebutkan tarif 0%. Bukan tidak dikenakan. Karena kalau bahasanya tidak dikenakan, nanti akan ada yang mengatakan bahwa tidak dikenakan PPh final berarti dikenakan PPh secara umum.
Tarif 0% artinya pemerintah memang bermaksud membebaskan penghasilan dari bunga deposito tersebut sehingga tidak ada lagi Pajak Penghasilan.

Mengendapnya uang devisa hasil ekspor hanya sekali. Tidak boleh diperpanjang. Menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 26 Tahun 2016 bahwa ketentuan diatas tidak berlaku dalam hal :
a. Devisa Hasil Ekspor ditempatkan kembali sebagai deposito;
b. Perpanjangan deposito Devisa Hasil Ekspor.

Selanjutnya diatur bahwa DHE yang ditempatkan kembali sebagai deposito termasuk perpanjangan dikenai tarif 20%. Termasuk yang dikenai 20% adalah DHE yang ditarik sebelum jatuh tempo. 

Jadi, bunga deposito yang bebas PPh adalah bunga deposito yang berasal dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan dalam rupiah enam bulan. Atau yang ditempatkan dalam US dollar lebih dari enam bulan.


Selain itu, untuk memanfaatkan bebas PPh, DHE juga harus memenuhi syarat:
a. sumber dana Deposito merupakan dana Devisa Hasil Ekspor yang diperoleh setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 123 Tahun 2015 yang dibuktikan dengan dokumen berupa laporan penerimaan Devisa Hasil Ekspor melalui bank devisa sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerimaan Devisa Hasil Ekspor;
b. sumber dana Deposito berasal dari pemindahbukuan dana Devisa Hasil Ekspor yang ditempatkan pada rekening milik eksportir pada bank tempat diterimanya Devisa Hasil Ekspor dari luar negeri dan rekening milik eksportir dimaksud hanya digunakan untuk menampung dana Devisa Hasil Ekspor;
c. Deposito ditempatkan pada bank yang sama dengan bank tempat diterimanya Devisa Hasil Ekspor dari luar negeri; dan
d. harus dilampiri surat pernyataan dari eksportir yang paling sedikit memuat:

  1. identitas eksportir antara lain nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan nomor rekening penempatan dana Devisa Hasil Ekspor;
  2. data dana Devisa Hasil Ekspor antara lain nilai ekspor, saat diperolehnya dana Devisa Hasil Ekspor, nomor dan tanggal Pemberitahuan Ekspor Barang, dan jenis valuta;
  3. pernyataan bahwa sumber dana rekening sebagaimana dimaksud pada huruf b berasal dari Devisa Hasil Ekspor; dan
  4. pernyataan bahwa sumber dana Deposito bukan berasal dari penempatan kembali Deposito termasuk melalui mekanisme perpanjangan Deposito.









insentif pajak DIRE untuk menggoda investor dan menggairahkan pasar keuangan

insentif pajak DIRE untuk menggoda investor dan menggairahkan pasar keuangan

insentif pajak DIRE yang menggoda investor dan menggairahkan pasar keuangan
Konsep Bandung Teknopolis
Pemerintah melalui Kementrian Keuangan telah membuat insentif perpajakan yang ditujukan untuk lebih memberikan kepastian hukum dan mendukung pendalaman pasar bagi sektor keuangan serta mendorong pertumbuhan investasi di bidang real estat. Insentif perpajakan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Keuangan nomor 200/PMK.03/2015 tentang Perlakuan Perpajakan Bagi Wajib Pajak Dan Pengusaha Kena Pajak Yang Menggunakan Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu Dalam Rangka Pendalaman Sektor Keuangan

Instrukmen yang menjadi target PMK kali ini adalah DIRE (dana investasi real estat) atau REIT (real estate investment trust). Menurut definisi resminya, DIRE adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan pada aset Real Estat, aset yang berkaitan dengan Real Estat, dan/atau kas dan setara kas.

Menurut infovesta.com, DIRE diartikan sebagai kumpulan uang pemodal yang oleh perusahaan investasi akan diinvestasikan ke bentuk aset properti baik secara langsung seperti membeli gedung maupun tidak langsung dengan membeli saham/obligasi perusahaan properti.

Menurut penjelasan Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Pasar Modal bahwa kontrak investasi kolektif adalah kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Unit Penyertaan di mana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif.

DIRE berbeda dengan reksadana tetapi ada kesamaan. Ini kesamaan menurut saya:


Insentif pajak diperlukan supaya keuntungan DIRE tidak "tergerus" pajak sehingga lebih menguntungkan bagi investor. Inilah catatan insentif perpajakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 200/PMK.03/2015


PAJAK PENGHASILAN
Seperti yang dikutif oleh KOMPASMenteri Keuangan mengatakan:
untuk kepentingan PPh, maka KIK DIRE ini dianggap satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dengan perusahaan yang dbentuk. Dengan demikian, tidak ada pengenaan PPh atas deviden dari special purpose company kepada KIK DIRE. Kalau ada penjualan underline asset berupa tanah dan bangunan, kepada KIK DIRE atau sejenisnya lewat special purpose company maka tidak dikenai PPh final pasal 4 ayat (2) UU PPh
Dari sisi Pajak Penghasilan, insentif yang diberikan berupa pembebasan dividen dan pengenaan PPh atas penjualan harta real estat kepada KIK. 

Pembebasan dividen karena KIK dan perusahaan terbatas khusus DIRE dianggap satu kesatuan. Secara tertulis Peraturan Menteri Keuangan nomor 200/PMK.03/2015 menyebut bahwa perseroan terbatas dan KIK satu kesatuan. Artinya dianggap sebagai satu entitas. Karena satu entitas maka tidak ada isu dividen.

Jika SPC (special purpose company) atau KIK membeli tanah dan/atau bangunan maka transaksi ini dianggap bukan pengalihan hak yang dikenai PPh Final. Tetapi dikenai PPh umum.

Penjual tanah dan/atau bangunan, secara normal wajib membayar PPh Final sebesar 5% dari harga jual. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 200/PMK.03/2015 jika yang beli SPC atau KIK DIRE transaksi sejenis tidak dikenai PPh Final. Syaratnya si penjual menyampaikan secara tertulis pemberitahuan mengenai adanya pengalihan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar (Pasal 4 (4) PMK-200).

Dengan demikian, bagi KIK DIRE bahwa jual beli real estat itu seperti jual beli aktiva pada umumnya. Dikenai PPh dari capital gain jika ada.


PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Perlakuan PPN atas real estat tidak ada bedanya dengan lainnya. Insentif yang diberikan berupa "stempel" risiko rendah bagi KIK DIRE.

Untuk mendapatkan "stempel" risiko rendah, pengusaha kena pajak harus mengajukan permohonan ke kantor pajak. Permohonan harus dilampiri dengan kelengkapan dokumen sebagai berikut:

  • fotokopi surat pemberitahuan efektifnya pernyataan pendaftaran DIRE berbentuk KIK yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
  • keterangan dari Otoritas Jasa Keuangan bahwa Wajib Pajak merupakan SPC dalam skema KIK tertentu; dan
  • surat pernyataan bermeterai yang menyatakan bahwa SPC atau KIK dibentuk semata-mata untuk kepentingan DIRE berbentuk KIK.

Setelah mendapat pengukuhan sebagai PKP berisiko rendah, maka KIK atau SPC akan mendapatkan restitusi lebih cepat. Kelebihan bayar PPN akan direspon oleh kantor pajak melalui pengembalian pendahuluan. Bukan dengan pemeriksaan dan SKPLB.

Menurut Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan nomor 200/PMK.03/2015 pajak masukan yang dimintakan restitusi hanya yang berasal dari pembelian real estat.











3 Keuntungan Revaluasi Aset Tahun 2015 dan 2016

3 Keuntungan Revaluasi Aset Tahun 2015 dan 2016

Fasilitas Pajak Penghasilan atas Revaluasi Aset Tahun 2015 dan 2016
gambar dari http://www.mappi.or.id/
Dalam rangka menambah setoran tunai pajak penghasilan, pemerintah telah mengeluarkan fasilitas perpajakan terkait revaluasi aset. Fasilitas ini memberikan tiga keuntungan bagi pelaku usaha jika pelaku usaha melakukan revaluasi aset tahun 2015 dan tahun 2016. Jika tahun 2017 atau setelahnya, maka pemajakannya tidak mendapat diskon.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 191/PMK.010/2015 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan perpajakan terkait revaluasi, khususnya revaluasi yang dilakukan tahun 2015 dan 2016. Peraturan menteri keuangan ini diberi nama "Penilaian Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan Yang Diajukan Pada Tahun 2015 Dan Tahun 2016".

Secara formal, tujuan kebijakan khusus ini adalah:

  • menjaga stabilitas ekonomi makro, dan
  • mendorong pertumbuhan ekonomi
Karena khusus, maka Peraturan Menteri Keuangan nomor 191/PMK.010/2015 tidak mencabut atau mengubah Peraturan Menteri Keuangan nomor 79/PMK.03/2008. Jadi, setelah 2016 ketentuan tentang PPh atas revaluasi kembali lagi ke  Peraturan Menteri Keuangan nomor 79/PMK.03/2008 dan tarif yang dikenakan 10%.

Tarif khusus tahun 2015 dan 2016 itu sebagai berikut:

  • 3% (tiga persen), bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh penetapan penilaian kembali aktiva tetap oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, dan melunasi Pajak Penghasilan  sampai dengan tanggal 31 Desember 2015;
  • 4% (empat persen), bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh penetapan penilaian kembali aktiva tetap oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, dan melunasi Pajak Penghasilan dimaksud dalam jangka waktu sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 30 Juni 2016
  • 6% (enam persen), bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh penetapan penilaian kembali aktiva tetap oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, dan melunasi Pajak Penghasilan dimaksud dalam jangka waktu sejak tanggal 1 Juli 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2016
Jadi hal yang harus diperhatikan adalah jangka waktu setor PPh atas revaluasi :
  1. tiga persen untuk tahun 2015
  2. empat persen untuk semester I tahun 2016, dan
  3. enam persen untuk semester II tahun 2016
Jangka waktu setor PPh ini indikasi bahwa pemerintah lagi butuh duit. Idealnya PPh ini dikenakan selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal semula. Selisih lebih ini diketahui setelah ada laporan perusahaan jasa penilai atau ahli penilai. Inilah yang diatur di Peraturan Menteri Keuangan nomor 79/PMK.03/2008.

Tetapi karena lagi butuh uang tunai, maka PPh atas revaluasi tahun 2015 dan 2016 disetor dulu dari perkiraan penilaian kembali aktiva tetap. Silakan cek Pasal 5 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan nomor 191/PMK.010/2015

Nah, keuntungan bagi Wajib Pajak yang melakukan revaluasi berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 191/PMK.010/2015 ini adalah
  1. Diskon tarif PPh menjadi lebih kecil yaitu, 3%, 4% atau 6% saja;
  2. Sisi aktiva Neraca perusahaan akan naik sebesar nilai lebih dan dicatat dalam akun "Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap Wajib Pajak Tanggal .... ". Akun ini disusutkan sesuai masa manfaat aktiva Tetap. Artinya, tahun-tahun setelah revaluasi penghasilan neto fiskal akan tergerus oleh penyusutan selish lebih revaluasi.
  3. Sisi ekuitas Neraca akan muncul "saham baru" baik berupa saham bonus atau saham baru tanpa penyetoran. Saham baru ini bukan objek PPh sesuai Pasal 2 hurup b Peraturan Pemerintah nomor 94 tahun 2010. Secara umum, penambahan saham tanpa setoran, apapun namanya, dianggap dividen. Bisa dicek bagian penjelasan Pasal 4 (1) huruf g UU PPh.
Jadi, keuntungan bagi pebisnis dengan revaluasi ini adalah selain mendapat diskon pajak penghasilan, pemegang saham juga dapat tambahan saham yang bukan objek PPh, dan secara fiskal penghasilan neto akan lebih kecil dibanding tahun lalu.

Satu lagi keuntungan revaluasi adalah bahwa dengan "tambahan nilai aktiva" maka perusahaan bisa nambah utang ke bank untuk modal kerja atau menaikkan nilai saham sebelum initial publik offering (IPO).

Agar bisa memanfaatkan fiasilitas ini, segera hubungi Kantor Jasa Penilia Publik terdekat.

Slide PMK-191 silakan diunduh





Penerapan tarif PPh Jasa Konstruksi

Penerapan tarif PPh Jasa Konstruksi

Beberapa pertanyaan masih dikirimkan di saya berkaitan dengan penerapan PPh atas Jasa Konstruksi, terutama tentang apa dokumen yang menunjukkan kualifikasi penyedia jasa konstruksi dan penerapannya dengan tarif. Uraian dibawah ini merupakan jawaban saya yang lebih lengkap.

PEMBAGIAN JASA KONSTRUKSI
Jasa Konstruksi dibagi tiga, yaitu Jasa Pelaksana Konstruksi, Jasa Perencanaan Konstruksi, dan Jasa Pengawasan Konstruksi. Pasal 4 No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi menyebutkan :
(1) Jenis usaha jasa konstruksi terdiri dari usaha perencanaan konstruksi, usaha pelaksanaan konstruksi, dan usaha pengawasan konstruksi yang masing-masing dilaksanakan oleh perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi.

(2) Usaha perencanaan konstruksi memberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagianbagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi.

(3) Usaha pelaksanaan konstruksi memberikan layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagianbagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi.

(4) Usaha pengawasan konstruksi memberikan layanan jasa pengawasan baik keseluruhan maupun sebagian pekerjaan pelaksanaan konstruksimulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasilkonstruksi.


PEMBAGIAN KUALIFIKASI JASA KONSTRUKSI
Pasal 8 ayat (3) PP 28 tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi menyebutkan :
Kualifikasi usaha jasa konstruksi didasarkan pada tingkat/ kedalaman kompetensi dan potensi kemampuan usaha, dan dapat digolongkan dalam:
a. kualifikasi usaha besar;
b. kualifikasi usaha menengah;
c. kualifikasi usaha kecil termasuk usaha orang perseorangan.

Pengertitan kualifikasi menurut PP 28 tahun 2000 adalah
bagian kegiatan registrasi untuk menetapkan penggolongan usaha di bidang jasa konstruksi menurut tingkat / kedalaman kompetensi dan kemampuan usaha, atau penggolongan profesi keterampilan dan keahlian kerja orang perseorangan di bidang jasa konstruksi menurut tingkat / kedalaman kompetensi dan kemampuan profesi dan keahlian.


Pasal 10 ayat (1) Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi No. 11a tahun 2008 tentang Registrasi Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi menyebutkan :
Penggolongan kualifikasi usaha jasa pelaksana konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 didasarkan pada kriteria tingkat/kedalaman kompetensi dan potensi kemampuan usaha, yang selanjutnya dibagi menurut kemampuan melaksanakan pekerjaan berdasarkan kriteria risiko, dan/atau kriteria penggunaan teknologi, dan/atau kriteria besaran biaya, dapat dibagi jenjang kompetensinya dalam Gred sebagai berikut :
a. kualifikasi usaha besar, berupa : Gred 7, Gred 6
b. kualifikasi usaha menengah, berupa : Gred 5
c. kualifikasi usaha kecil, berupa : Gred 4, Gred 3, Gred 2, Gred 1 (usaha orang perseorangan)

Sedangkan menurut Pasal 10 ayat (2) Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi No. 12a tahun 2008 tentang Registrasi Usaha Jasa Perencana Konstruksi dan Jasa Pengawas Konstruksi menyebutkan :
Penggolongan kualifikasi usaha jasa perencana konstruksi dan jasa pengawas konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jenjang kompetensinya dalam Gred, dapat dibagi dalam golongan :
a. kualifikasi usaha besar, berupa : Gred 4
b. kualifikasi usaha menengah, berupa : Gred 3
c. kualifikasi usaha kecil, berupa : Gred 2, Gred 1 (usaha orang perseorangan)

Intinya, kualifikasi penyedia jasa konstruksi ada tiga, yaitu : besar, menengah, dan kecil.

SIAPA YANG MENENTUKAN KUALIFIKASI?
Untuk mendapatkan kualifikasi, penyedia jasa konstruksi harus melakukan sertifikasi. Pengertian sertifikasi menurut menurut PP 28 tahun 2000 adalah:
a. proses penilaian untuk mendapatkan pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas kompetensi dan kemampuan usaha di bidang jasa konstruksi yang berbentuk usaha orang perseorangan atau badan usaha; atau
b. proses penilaian kompetensi dan kemampuan profesi keterampilan kerja dan keahlian kerja seseorang di bidang jasa konstruksi menurut disiplin keilmuan dan atau keterampilan tertentu dan atau kefungsian dan atau keahlian tertentu.

Hasil dari sertifikasi adalah sertifikat, yaitu
a. tanda bukti pengakuan dalam penetapan klasifikasi dan kualifikasi atas kompetensi dan kemampuan usaha di bidang jasa konstruksi baik yang berbentuk orang perseorangan atau badan usaha; atau
b. tanda bukti pengakuan atas kompetensi dan kemampuan profesi keterampilan kerja dan keahlian kerja orang perseorangan di bidang jasa konstruksi menurut disiplin keilmuan dan atau keterampilan tertentu dan atau kefungsian dan atau keahlian tertentu.


Dan, siapa yang meyelenggarakan sertifkasi?

Menurut Pasal 39 Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi No. 11a tahun 2008 tentang Registrasi Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi menyebutkan :
(1) LPJK Nasional bertanggung jawab atas penyelenggaraan sertifikasi usaha jasa pelaksana konstruksi secara nasional.

(2) Penyelenggaraan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup kegiatan menetapkan pengakuan tingkat kompetensi dan kemampuan usaha, klasifikasi, dan kualifikasi jasa konstruksi, yang diwujudkan dalam bentuk Sertifikat.

(3) Penyelenggaraan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh :
a. LPJK Nasional/LPJK Daerah untuk Badan Usaha yang baru-berdiri yang belum menjadi anggota asosiasi dan Badan Usaha anggota asosiasi belum terakreditasi.
b. Asosiasi terakreditasi untuk Badan Usaha anggota asosiasinya.

Redaksi senada juga terdapat di Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi No. 12a tahun 2008 tentang Registrasi Usaha Jasa Perencana Konstruksi dan Jasa Pengawas Konstruksi. Dengan demikian, sertifikat penyedia jasa konstruksi dikeluarkan oleh LPJK dan asosiasi yang telah mendapat akreditasi.

PPh JASA KONSTRUKSI
Dengan uraian diatas saya pikir pembaca dapat menerapkan PP No. 51 tahun 2008 terutama tentang tarif. Berikut ketentuan tarif PPh Jasa Konstruksi :
a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
Penyedia jasa pelaksana konstruksi yang menggunakan tarif 2% ini adalah mereka yang memiliki sertifikat Gred 4, Gred 3, Gred 2, dan Gred 1.

b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
Penyedia jasa pelaksana konstruksi yang menggunakan tariff 4% ini adalah mereka yang TIDAK memiliki sertifikat. Pengguna jasa harus memotong 4% jika penyedia jasa tidak menunjukkan sertifikat!

c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
Penyedia jasa pelaksana konstruksi yang menggunakan tarif 3% ini adalah mereka yang memiliki sertifikat Gred 5, Gred 6, dan Gred 7. Penjelasan PP 51 tahun 2008 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan "Penyedia Jasa selain Penyedia Yang dimaksud dengan" Penyedia Jasa selain Penyedia antara lain Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha menengah atau kualifikasi usaha besar.

d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan olehPenyedia Jasa yang memiiiki kualifikasi usaha;
Penyedia jasa perencana konstruksi dan pengawas konstruksi yang menggunakan tariff 4% ini adalah mereka yang memiliki sertifikat, baik Gred 4, Gred 3, Gred 2, maupun Gred 1.

e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Penyedia jasa perencana konstruksi dan pengawas konstruksi yang menggunakan tarif 6% ini adalah mereka yang TIDAK memiliki sertifikat!

Dengan uraian ini semoga pembaca jadi lebih jelas.




Cash Basis di PPh Konstruksi

Cash Basis di PPh Konstruksi

Berkaitan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008, Direktur Jenderal Pajak juga telah mengeluarkan Surat Edaran No. SE-05/PJ.03/2008. Seperti yang telah disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 menyiratkan cash basis.

Ternyata, di Surat Edaran No. SE-05/PJ.03/2008 lebih jelas. Berikut kutipannya :

5. Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada butir 1:
a. dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran,
dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak; atau
b. disetor sendiri oleh Penyedia Jasa,
dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak.

6. Besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor sendiri sebagaimana dimaksud pada butir 5 adalah:
a. jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam butir 2; atau
b. jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dalam hal Pajak Penghasilan disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.


Selain itu, diaturan peralihan yaitu kontrak yang sudah ditandatangani sebelum 1 Januari 2008 tetapi pembayarannya pada tahun 2008 atau setelahnya diatur sebagai berikut :
Untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak sampai dengan langgal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Alas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konslruksi; [artinya ketentuan baru tidak berlaku].

Untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak setelah langgal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi [artinya berlaku ketentuan baru].

Sekedar mengulang, tarif Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi adalah :
[1]. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;

[2]. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;

[3]. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam angka [1] dan angka [2]

[4]. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha;

[5]. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

Dan semuanya bersifat FINAL! Karena itu, jika ada kerugian dari usaha Jasa konstruksi yang masih tersisa sampai dengan Tahun Pajak 2008 hanya dapat dikompensasi sampai dengan Tahun Pajak 2008 saja.



Tarif baru jasa konstruksi

Tarif baru jasa konstruksi


Pemerintah pada tanggal 23 Juli 2008 telah mengundankan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2008 [lembaran negara tahun 2008 nomor  109] tentang Pajak Penghasilan atas Usaha Jasa Konstruksi.  Peraturan ini berlaku surut sejak Januari 2008. Dengan PP 51/2008 ini usaha jasa konstruksi menjadi  FINAL.
Semua PPh yang bersifat final akan mengacu ke Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984. Ini tersurat di unsur menimbang yaitu, "… dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) …". Karena itu, PPh yang bersifat final bukan jenis PPh Pasal 23. Masih banyak yang menganggap PPh final itu termasuk PPh Pasal 23!
Tarif PPh Final usaha jasa kontruksi sejak Januari 2008 sebagai berikut :
[a.]  2% (dua persen) untuk  Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
[b.]  4% (empat  persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
[c.]  3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
[d.]  4% (empat  persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiiiki kualifikasi usaha; dan
[e.]  6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Peraturan pemerintah ini juga mengatur bahwa selisih kurs yang berasal dari jasa konstruksi tetap bersifat final. Berapapun selisihnya, dalam hitungan rupiah tetap kena tarif diatas dan bersifat final. Contoh : kontrak $50.000, pada saat pengakuan kursnya Rp.9000 sehingga menjadi Rp.450juta tetap saat pembayaran kurs menjadi Rp.9500 sehingga menjadi Rp.475juta. Berarti ada selisih kurs Rp.25juta. Maka yang Rp.25juta tersebut tinggal dikalikan dengan tarif diatas.
Uniknya, PPh jasa konstruksi terutang saat dibayar! Hal ini tersirat di Pasal 6 yang mengatur:
(1) Jika telah dipotong tetapi masih kurang berdasarkan tarif diatas, maka kekurangan tersebut dibayar sendiri;
(2) Jika tidak dibayar tidak terutang dengan syarat yang tidak dibayar masuk piutang tidak dapat ditagih;
     Syarat piutang tidak dapat ditagih menurut UU PPh 1984 : [1] telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial, [2] telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan, [3] telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, dan [4] Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak;
(3) Jika piutang tidak dapat ditagih tersebut dibayar, maka atas pembayaran tersebut tetap terutang PPh Final!



Surat Perbendaharaan Negara

Surat Perbendaharaan Negara

Surat Perbendaharaan Negara [SPN] adalah Surat Utang Negara [SUN] yang berjangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. Dan, SUN adalah surat berharga yang berupa pengakuan utang baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran pokok dan bunganya oleh Negara RI sesuai dengan masa berlakunya [SPN atau obligasi].

Penghasilan yang diterima Wajib Pajak berupa diskonto SPN dipotong PPh Final. Diskonto SPN dihitung sebagai berikut :
[1] Selisih lebih antara nilai nominal pada saat jatuh tempo dengan harga perolehan di pasar [perdana atau sekunder],
[2] Selisih lebih antara harga jual di pasar sekunder dengan harga perolehan di pasar perdana atau pasar sekunder. Gampangnya, selisih lebih antara harga perolehan dengan harga jual.

Tarif PPh Final atas diskonto SPN adalah 20%. Dengan catatan, penerima diskonto SPN merupakan Wajib Pajak Luar Negeri, maka ketentuan pemotongan PPh mengacu pada tax treaty yang berlaku.

Berdasarkan PP 11 Tahun 2006 pemotong PPh Final atas diskonto SPN Bank Indonesia sebagai agen pembayar bunga dan pokok Surat Utang Negara. Sekarang, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2008 PPh Final ini dipotong oleh
[a] emiten atau kustodian atas diskonto SPN yang diterima pada saat jatuh tempo.
[b] dipotong juga oleh broker atau bank atas diskonto SPN yang diterima di pasar sekunder.

Pengecualian pemotongan PPh Final ini hanya jika penerima diskonto
[1] Bank dalam negeri atau di dalam negeri.
[2] Dana Pensiun yang telah diakui Menteri Keuangan.
[3] Reksadana yang terdaftar pada Bapepam LK.

Salaam.

Sewa Tanah

Sewa Tanah

gimana kewajiban pajaknya dan kapan harus dibayar ketika kita mendapatkan penghasilan atas sewa tanah yang belum ada kontraknya tp udah ada faktur pjk.

Jawaban saya:
Penghasilan atas sewa tanah! Berarti kita sebagai pemilik tanah, kemudian menyewakan kepada orang lain. Atas transaksi ini terutang PPh atas sewa tanah dan atau bangunan sebesar 10%.

Pasal 3 PP No. 29 tahun 1996 yang dirubah dengan PP No. 5 tahun 2002 menyebutkan :
Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau dibayar sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final.


Kewajiban ini terutang pada saat diterima atau diperoleh, mana yang lebih dulu. Jika pembayaran atas sewa lebih dahulu maka PPh terutang pada saat pembayaran tersebut walaupun formalitasnya dilaksanakan beberapa waktu kemudian. Jika penyewa merupakan pemotong PPh maka atas PPh diatas dipotong oleh pemotong. Tetapi jika bukan pemotong maka kewajiban tersebut dibayar sendiri oleh pemilik bangunan dan atau tanah.

Cag!

Iklan