Semua PPh yang bersifat final akan mengacu ke Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984. Ini tersurat di unsur menimbang yaitu, "… dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) …". Karena itu, PPh yang bersifat final bukan jenis PPh Pasal 23. Masih banyak yang menganggap PPh final itu termasuk PPh Pasal 23!
Tarif PPh Final usaha jasa kontruksi sejak Januari 2008 sebagai berikut :
[a.] 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
[b.] 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
[c.] 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
[d.] 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiiiki kualifikasi usaha; dan
[e.] 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Peraturan pemerintah ini juga mengatur bahwa selisih kurs yang berasal dari jasa konstruksi tetap bersifat final. Berapapun selisihnya, dalam hitungan rupiah tetap kena tarif diatas dan bersifat final. Contoh : kontrak $50.000, pada saat pengakuan kursnya Rp.9000 sehingga menjadi Rp.450juta tetap saat pembayaran kurs menjadi Rp.9500 sehingga menjadi Rp.475juta. Berarti ada selisih kurs Rp.25juta. Maka yang Rp.25juta tersebut tinggal dikalikan dengan tarif diatas.
Uniknya, PPh jasa konstruksi terutang saat dibayar! Hal ini tersirat di Pasal 6 yang mengatur:
(1) Jika telah dipotong tetapi masih kurang berdasarkan tarif diatas, maka kekurangan tersebut dibayar sendiri;
(2) Jika tidak dibayar tidak terutang dengan syarat yang tidak dibayar masuk piutang tidak dapat ditagih;
Syarat piutang tidak dapat ditagih menurut UU PPh 1984 : [1] telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial, [2] telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan, [3] telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, dan [4] Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak;
(3) Jika piutang tidak dapat ditagih tersebut dibayar, maka atas pembayaran tersebut tetap terutang PPh Final!
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Leave A Comment...