Tampilkan postingan dengan label skp. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label skp. Tampilkan semua postingan
penafsiran yang bersifat a contrario tidak bisa diterapkan dalam UU KUP

penafsiran yang bersifat a contrario tidak bisa diterapkan dalam UU KUP

Kewajiban perpajakan di Indonesia berlaku hanya 5 tahun. Setelah lewat 5 tahun, otoritas pajak tidak bisa lagi menagih hak negara dari Wajib Pajak. Kecuali jika Wajib Pajak terbukti melakukan tindak pidana dalam perpajakan. Artinya penagihannya bukan melalui hukum administrasi pajak tetapi menggunakan pidana pajak. Hanya saja ada banyak penafsiran darimana 5 tahun dihitung.

Pasal 2 ayat (4a) UU KUP berbunyi:
Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak
Pasal ini mengatakan bahwa otoritas pajak dapat menagih pajak 5 tahun ke belakang sejak NPWP diterbitkan secara jabatan. Ayat diatas sering dibandingkan dengan Pasal 2 ayat (4) UU KUP yang berbunyi:
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2). 
Sebagian mengatakan bahwa jika NPWP itu ditetapkan secara jabatan berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UU KUP maka kewajiban perpajakannya dimulai sejak NPWP atau PKP ditetapkan. Jadi Pasal 2 ayat (4a) UU KUP tidak bisa digunakan.

Direktur Peraturan Perpajakan I atas nama Dirjen Pajak sudah menegaskan bahwa walaupun ditetapkan secara jabatan, DJP masih bisa menerbitkan surat ketetapan pajak 5 tahun ke belakang sejak penetapan secara jabatan. 

Ini kutipan penting dari S-393/PJ.02/2016 tanggal 26 April 2016:
  • Bahwa pengaturan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) Undang-Undang KUP merupakan konsekuensi logis dari ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang KUP, apabila Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak tidak memenuhi kewajibannya untuk mendaftarkan diri atau melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak padahal telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.

  • Bahwa pengaturan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang KUP yang menyatakan bahwa kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi kewajiban subjektif dan objektif paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP dimaksudkan untuk menegaskan dan memberikan kepastian hukum adanya ketentuan daluwarsa penetapan pajak 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang KUP.

  • Pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang KUP mengenai kewajiban perpajakan diberlakukan mundur 5 (lima) tahun tidak berlaku bagi Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai PKP berdasarkan permohonan merupakan penafsiran yang bersifat a contrario. Ketentuan Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang KUP tidak dapat ditafsirkan secara a contrario. Dalam hukum pajak, penafsiran a contrario dan penafsiran analogy tidak dapat diterapkan karena dapat memperluas atau mempersempit dasar pengenaan dan penetapan pajak yang terutang.  

Catatan:
Argumentum a contrario atau sering disebut a contrario, yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. 



pinjaman tanpa bunga dari pihak yang memiliki hubungan istimewa dianggap sebagai modal

pinjaman tanpa bunga dari pihak yang memiliki hubungan istimewa dianggap sebagai modal

rajin membayar pajak berarti menabung untuk masa depan
Menumpuk utang dan mengecilkan modal termasuk salah satu cara menghindari pembayaran pajak. Karena utang menimbulkan bunga dan bunga mengurangi penghasilan. Ada juga pemegang saham yang senang mencatatkan utang daripada modal agar "dividen" yang dia terima dicatat oleh perusahaan sebagai pengembalian hutang. 

Karena tidak ada pembatasan hutang, maka sebanyak apapun hutang pemegang saham atau hutang usaha lainnya tidak masalah. Sekarang tidak bisa lagi setelah terbit Peraturan Menteri Keuangan nomor 169/PMK.03/2015

Saya sengaja menulis mencatatkan utang dengan cetak miring. Karena memang kadang-kadang pikiran orang yang mencatatkannya juga miring. Sering ditemukan penjualan dicatatkan sebagai utang pemegang saham! Begitu "hasil usaha" dibagi ke pemegang saham, tinggal dikurangi saldo akun "utang pemegang saham". 

Semakin banyak salod akun "utang pemegang saham" maka semakin aman modus "dividen terselubung" yang dia bukukan. Toh, tidak ada aturan batasan utang. Sampai sekarang, saya selalu curiga jika ada akun utang pemegang saham di necara Wajib Pajak.

Kelakuan pemegang saham yang seperti ini mulai tahun 2016 tidak bisa lagi. Hal ini karena aturan batas debt equity ratio sudah diterbitkan oleh Menteri Keuangan. Sejak 2016 tidak boleh lagi ada utang melebihi 4 kali modal.

Misal modal perusahan Rp.100 maka maksimal jumlah utang jangka pendek dan utang jangka panjang sebesar Rp.400. Jika lebih maka buanga utang atas kelebihan tersebut tidak boleh dijadikan biaya atau pengurang penghasilan.

Menariknya, Peraturan Menteri Keuangan nomor 169/PMK.03/2015 memasukkan utang tanpa bunga kepada pemegang saham (lebih tepatnya "memiliki hubungan istimewa") termasuk saldo modal. Silakan cek Pasal 1 ayat (5). Artinya,  utang tanpa bunga kepada pemegang saham adalah modal!

Nisbah utang terhadap modal ini bukan saldo akhir tahun. Nisbah yang digunakan adalah salda rata-rata tiap akhir bulan. Baik untuk saldo utang maupun untuk saldo modal. Setiap akhir bulan harus dilihat, dimasukkan dalam tabel dan dibagi. 

Bunga yang dikoreksi juga lebih luas. PMK menyebutnya biaya pinjaman.

Termasuk biaya pinjaman adalah:

  • bunga pinjaman;
  • diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman;
  • biaya tambahan yang terjadi terkait dengan perolehan pinjaman (arrangement of borrowings);
  • beban keuangan dalam sewa pembiayaan;
  • biaya imbalah karena jaminan pengembalian utang; dan
  • selisih kurs yang berasal dari pinjaman dalam valuta asing.


Catatan terakhir tentang PMK DER ini adalah adanya kewajiban pelaporan pinjaman dari luar negeri ke kantor pajak. Jika pinjaman dari luar negeri tidak dilaporkan ke kantor pajak maka atas biaya pinjaman tersebut tidak boleh dikurangkan dengan penghasilan. Mantap kan?

Perhitungan teknis tentang DER bisa dilihat di bagian lampiran PMK.


Cek tulisan terbaru di aguspajak.com/blog






Iklan