Tampilkan postingan dengan label pemeriksaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pemeriksaan. Tampilkan semua postingan
Pemeriksaan Lapangan Dengan Rasa Pemeriksaan Kantor

Pemeriksaan Lapangan Dengan Rasa Pemeriksaan Kantor

Direktur Jenderal Pajak mengubah tata cara pemeriksaan lapangan. Sebelumnya, pemeriksaan lapangan dimulai dengan menyampaikan surat pemberitahuan langsung ke Wajib Pajak, dan atas pertemuan tersebut wajib dibuatkan berita acara. Sedangkan pemeriksaan kantor dengan menyampaikan surat penggilan melalui pos, faksimili, atau bukti pengiriman surat. Sekarang ini, mulai April 2017 pemeriksaan lapangan pun dimulai dengan surat panggilan. Hal ini tercantum dalam PER-07/PJ/2017.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-07/PJ/2017 mengatur bahwa surat pemberitahuan pemeriksaan lapangan disampaikan melalui faksimili, pos, dan jasa pengiriman surat lain dengan bukti pengiriman. Bersamaan dengan surat pemberitahuan pemeriksaan lapangan, dikirim surat panggilan. 

Setelah dikirim, pemeriksa juga akan konfirmasi kepada wajib pajak untuk memastikan bahwa surat penggilan dan surat pemberitahuan pemeriksaan lapangan diterima dengan baik. Dengan diterimanya surat pemberitahuan pemeriksaan lapangan, maka tertutup kesempatan wajib pajak untuk melakukan pembetulan SPT pada tahun pajak yang diperiksa.

Wajib pajak diminta datang ke kantor pajak. Surat Edaran nomor SE-10/PJ/2017 memberikan arahan bahwa kantor pajak yang dimaksud tidak harus kantor pajak dimana pemeriksa pajak berkantor. Bisa saja kantor pajak di Jakarta dan lokasi wajib pajak di Medan, maka wajib pajak diminta datang ke salah satu kantor pajak yang dekat dengan lokasi wajib pajak.

Contoh lainnya : Wajib Pajak terdaftar di KPP Besar Satu (Jakarta), tetapi kedudukan wajib pajak berada di Soroako, Sulawesi Selatan. Pemanggilan dan pertemuan dengan wajib pajak dapat dilakukan di kantor pajak terdekat dengan wajib pajak, seperti di KP2KP Mailili.

Surat panggilan sekurang-kurangnya harus memuat:
  • waktu,
  • tempat,
  • maksud pertemuan,
  • daftar dokumen yang harus dibawa oleh wajib pajak.
Pada waktu dan tempat yang sudah ditentukan, dan wajib pajak hadir maka pemeriksa pajak :
  • memperlihatkan tanda pengenal dan SP2;
  • menjelaskan alasan dan tujuan pemeriksaan;
  • menandatangani pakta integritas antara pemeriksa pajak dan wajib pajak;
  • meminta keterangan kepada wajib pajak dan membuat berita acara atas permintaan keterangan tersebut.

untuk lebih jelasnya, silakan tonton film berikut :



Film ini dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberikan gambaran prosedur baru pemeriksaan sebagaimana diatur di Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-07/PJ/2017. Aktor dalam film ini direktur penegakan hukum sebagai supervisor, direktur pemeriksaan dan penagihan sebagai ketua tim, dan direktur intelijen sebagai anggota tim. Sedangkan direktur jenderal pajak berperan sebagai wajib pajak. Mantab dah....

Cek tulisan terbaru di aguspajak.com/blog





kehebohan karena moratorium pemeriksaan pajak

kehebohan karena moratorium pemeriksaan pajak

raden agus suparman : pemeriksaan pajak versus amnesti pajak
Direktur Jenderal Pajak telah menandatangani intruksi nomor INS-03/PJ/2016 tentang kebijakan pemeriksaan dalam rangka mendukung pelaksanaan Undang-Undang nomor 11 tahun 2016 tendang Pengampunan Pajak. Hal terpenting dalam intruksi ini adalah Direktorat Jenderal Pajak "menahan diri" untuk tidak menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) baru dan Wajib Pajak yang sedang diperiksa didorong untuk memanfaatkan amnesti pajak. Ditandatangani pada tanggal 3 Agustus 2016 dan pagi ini (4/8) di kantor terjadi kehebohan dan cukup mengejutkan.
Sebenarnya, beberapa minggu sebelumnya sudah keluar "moratorium pemeriksaan pajak" yang beredar lewat grup WhatApps di internal DJP. Pesan moratorium pada intinya sama dengan intruksi Dirjen Pajak, yaitu tidak menerbitkan SP2 baru. Tetapi, moratorium ini kemudian dibantah dan diminta menunggu perintah tertulis.

Pada awalnya memang, kebijakan pemeriksaan dan amnesti pajak dijalankan bareng. Artinya, sepanjang wajib pajak BELUM memanfaatkan amnesti pajak, maka prosedur pemeriksaan tetap jalan. Bahkan diibaratkan seperti "adu lari" antara pemeriksa bekerja sampai menerbitkan surat ketetapan pajak dengan wajib pajak sampai memanfaatkan amnesti pajak.

Dengan intruksi baru ini, DJP seperti berkonsentrasi untuk mensukseskan amnesti pajak. Baik pemeriksa pajak, petugas AR, dan petugas pajak lainnya benar-benar untuk melayani amnesti pajak.


raden agus suparman : Intruksi Dirjen Pajak tentang Kebijakan Pemeriksaan Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Amnesti Pajak




Jurus Baru Mengungkap Pengemplang Pajak

Jurus Baru Mengungkap Pengemplang Pajak

raden agus suparman: jurus baru mengungkap pengemplang pajak
Direktorat Jenderal Pajak menggunakan jurus baru untuk mengungkap para pengemplang pajak. Selama ini, pemeriksa pajak biasa menguji omset Wajib Pajak dengan arus uang, arus dokumen, dan barang. Tapi secara institusi, Direktorat Jenderal Pajak belum mengoptimalkan arus barang. Karena itu, di tahun Penegakkan Hukum 2016 arus barang akan ditelusuri untuk mengungkap omset para pengusaha. Kemana saja barang mengalir?


Faktur Pajak yang dibuat oleh para pabrikan dan distributor barang-barang mewajibkan merinci jenis barang. Siapa pembeli barang, alamatnya dimana, jenis barang apa, dan berapa jumlahnya. Tetapi ada satu jenis faktur pajak yang tidak ada rincian tersebut. Faktur Pajak tersebut disebut Faktur Pajak Yang Digunggungkan.

Pengusaha Kena Pajak (PKP) tidak perlu melaporkan satu-per-satu faktur pajak. Walaupun demikian, dalam catatan atau pembukuan PKP tetap harus dibuat perincian per transaksi dan nomor faktur pajak. Hanya saja PKP cukup melaporkan di SPT Masa PPN sebesar total DPP dan PPN-nya saja. Bandingkan dengan faktur pajak yang tidak digunggungkan, PKP harus melaporkan setiap faktur pajak di Formulir 1111 A1 dan Formulir 1111 A2.

Faktur Pajak yang digunggung ini membuat Direktorat Jenderal Pajak "mati kutu" menelusuri siapa pembeli barang. Tahun 2016 ini dibuat usaha baru dengan meminta perincian lebih detil ke PKP. Permintaan dikirim secara khusus.
raden agus suparman: surat permintaan informasi identitas pembeli dari KPP



Selain Faktur Pajak yang digunggung, ada juga permintaan identitas penerima jasa. Penerima jasa sudah dilaporkan saat dipotong PPh Pasal 23 oleh pemberi penghasilan. Seringkali, identitas penerima penghasilan tidak jelas karena permintaan penerima penghasilan.

Banyak yang menolak memberikan identitas penerima penghasilan karena si penerima penghasilan tidak mau ketahuan oleh Wajib Pajak. Sekarang secara khusus identitas ini diminta. 

Jika Wajib Pajak menolak memberikan identitas lengkap, ada baiknya dibuatkan data konkret saja. Ya, atas biaya tersebut dikoreksi sehinga penghasilan kena pajak meningkat sebesar koreksi jasa yang diberikan. 

Mungkin Wajib Pajak akan kerepotan jika biaya yang dikoreksi besar. Tentu Pajak Penghasilan Badan juga akan kurang  bayar besar. Inilah sasaran lain dari kantor pajak. Jika dipenerima penghasilan tidak didapat, dari sisi pemberi penghasilan yang kena.

Argumentasi yang dapat digunakan oleh petugas pajak begini, "Bisa jadi sebenarnya biaya tersebut tidak ada, tetapi diada-adakan. Buktinya penerima penghasilan tidak jelas identitasnya?"


Cek tulisan terbaru di aguspajak.com/blog 


 


penafsiran yang bersifat a contrario tidak bisa diterapkan dalam UU KUP

penafsiran yang bersifat a contrario tidak bisa diterapkan dalam UU KUP

Kewajiban perpajakan di Indonesia berlaku hanya 5 tahun. Setelah lewat 5 tahun, otoritas pajak tidak bisa lagi menagih hak negara dari Wajib Pajak. Kecuali jika Wajib Pajak terbukti melakukan tindak pidana dalam perpajakan. Artinya penagihannya bukan melalui hukum administrasi pajak tetapi menggunakan pidana pajak. Hanya saja ada banyak penafsiran darimana 5 tahun dihitung.

Pasal 2 ayat (4a) UU KUP berbunyi:
Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak
Pasal ini mengatakan bahwa otoritas pajak dapat menagih pajak 5 tahun ke belakang sejak NPWP diterbitkan secara jabatan. Ayat diatas sering dibandingkan dengan Pasal 2 ayat (4) UU KUP yang berbunyi:
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2). 
Sebagian mengatakan bahwa jika NPWP itu ditetapkan secara jabatan berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UU KUP maka kewajiban perpajakannya dimulai sejak NPWP atau PKP ditetapkan. Jadi Pasal 2 ayat (4a) UU KUP tidak bisa digunakan.

Direktur Peraturan Perpajakan I atas nama Dirjen Pajak sudah menegaskan bahwa walaupun ditetapkan secara jabatan, DJP masih bisa menerbitkan surat ketetapan pajak 5 tahun ke belakang sejak penetapan secara jabatan. 

Ini kutipan penting dari S-393/PJ.02/2016 tanggal 26 April 2016:
  • Bahwa pengaturan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) Undang-Undang KUP merupakan konsekuensi logis dari ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang KUP, apabila Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak tidak memenuhi kewajibannya untuk mendaftarkan diri atau melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak padahal telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.

  • Bahwa pengaturan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang KUP yang menyatakan bahwa kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi kewajiban subjektif dan objektif paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP dimaksudkan untuk menegaskan dan memberikan kepastian hukum adanya ketentuan daluwarsa penetapan pajak 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang KUP.

  • Pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang KUP mengenai kewajiban perpajakan diberlakukan mundur 5 (lima) tahun tidak berlaku bagi Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai PKP berdasarkan permohonan merupakan penafsiran yang bersifat a contrario. Ketentuan Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang KUP tidak dapat ditafsirkan secara a contrario. Dalam hukum pajak, penafsiran a contrario dan penafsiran analogy tidak dapat diterapkan karena dapat memperluas atau mempersempit dasar pengenaan dan penetapan pajak yang terutang.  

Catatan:
Argumentum a contrario atau sering disebut a contrario, yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. 



sangat jarang wajib pajak orang pribadi melaporkan harta di Luar Negeri

sangat jarang wajib pajak orang pribadi melaporkan harta di Luar Negeri

bocoran yang disebut Panama Papers
gambar dari theguardian.com
Seperti yang disampaikan oleh Chief Operating Officer Bank Dunia, Sri Mulyani, bahwa beliau mengetahui pasti tidak ada satupun pihak yang suka membayar pajak. Kasus menghindari pajak bukan kasus baru. Bagi pelajar kelas perpajakan tentu sudah dikenalkan tentang tax avoidance dan tax evasion.
Tidak mudah menentukan apakah suatu skema investasi bisa disebutkan tax avoidance atau tax evasion. Tentu perlu pemeriksaan kasus per kasus. Tetapi dari sisi niat, bisa dipastikan bahwa orang-orang yang membuat "perusahaan cangkang" (SPC atau SPV) di di negara tertentu bisa dipastikan untuk menghindari pajak atau memanfaatkan pajak yang kecil.

Tetapi akhir-akhir ini, perang terhadap penghindar pajak sudah diumumkan. Negara-negara G20 dan OECD sudah sepakat untuk membuat Automatic Exchange of Information (AEOI) sehingga informasi aset, data keuangan, dan transaksi lainnya bisa diketahui dari program pertukaran informasi tersebut. Tujuannya tentu memudahkan pengawasan kepatuhan perpajakan seseorang.

Bahkan sekarang IMF dan Bank Dunia juga sudah bergabung dalam program memerangi pengemplang pajak. Bank Dunia mengatakan bahwa penghindaran pajak menimbulkan kemiskinan.

Dari sisi petugas pajak, informasi aset sangat penting. Aset bisa berupa kepemilikan saham atau properti. Aset di Luar Negeri yang belum dilaporkan di SPT bisa dianggap sebagai penghasilan yang belum dilaporkan.

Inilah modus-modus yang sering dilakukan wajib pajak super kaya:
  1. Wajib Pajak pada umumnya tidak melaporkan adanya penghasilan dari gaji yang diterima di Luar Negeri; 
  2. atas kepemilikan sahamnya di Luar Negeri, Wajib Pajak pada umumnya tidak melaporkan adanya penghasilan dari dividen yang dibagikan;
  3. Wajib Pajak tidak melaporkan kepemilikan aset di Luar Negeri karena menganggap aman dari pengawasan otoritas pajak di Indonesia.
Para tax planner sebaiknya mulai sekarang segera taubat dari upaya sembunyi-sembunyi. Era transparansi segera datang. Rahasia bank akan segera usang. Setiap otoritas pajak akan mendapatkan informasi dari Negera Lain tentang aset seseorang termasuk kepemilikan uang dan rekening bank.



Pembahasan Akhir Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak Sekarang Harus Direkam

Pembahasan Akhir Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak Sekarang Harus Direkam

Ada dua prosedur dalam pemeriksaan pajak yang wajib ada atau wajib dilakukan oleh pemeriksa pajak. Pertama, menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP). Kedua, memberikan hak hadir dalam pembahasan dengan cara mengundang pembahasan (closing conference). Kedua prosedur tersebut dikecualikan jika pemeriksaan tujuan lain.
Direktur Jenderal Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran nomor SE-12/PJ/2016 yang mengatur saat-saat pembahasan hasil pemeriksaan antara pemeriksa pajak dan wajib pajak. Pada intinya, SE-12/PJ/2016 berisi:
pada saat pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan:
  • Pemeriksa Pajak harus melakukan perekaman (recording) dengan menggunakan alat bantu perekaman (audio dan/atau visual) pada saat pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
  • Pemeriksa Pajak harus memberitahukan kepada Wajib Pajak bahwa akan dilakukan perekaman terhadap pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan
  • Hasil perekaman merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
Terlepas dari materi inti, SE-12/PJ/2016 telah memberikan penegasan tentang pemeriksaan tujuan lain. Ini sering "terlupakan" baik oleh pemeriksa pajak maupun wajib pajak. Pada saat pemeriksaan tujuan lain, pemeriksa pajak meminjam dokumen. Berdasarkan dokumen tersebut, tiba-tiba pemeriksa pajak menyampaikan SPHP dan menerbitkan surat ketetapan pajak.

Karena wajib pajak tidak tahu prosedur pemeriksaan, maka wajib pajak pun menerima ketetapan pajak tersebut. Dengan SE-12/PJ/2016 ini sebaiknya hal tersebut tidak terjadi. Ini kalimat yang saya copy dari huruf E angka 3 SE-12/PJ/2016:
Penyampaian SPHP dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak tidak berlaku atas pemeriksaan untuk tujuan lain karena pemeriksaan untuk tujuan lain tidak dimaksudkan untuk menerbitkan ketetapan pajak (skp/stp). Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan untuk tujuan tertentu dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, seperti dalam rangka penghapusan  NPWP, pencabutan pengukuhan PKP, pemberian NPWP/pengukuhan PKP secara jabatan, dan lain-lain.
Apa saja pemeriksaa tujuan lain? SE-06/PJ/2016 telah memberikan contoh kriteria pemeriksaan tujuan lain, yaitu:
  1. penerbitan NPWP dan/atau Pengukuhan PKP secara jabatan;
  2. penghapusan NPWP, baik atas permohonan Wajib Pajak maupun secara jabatan;
  3. pencabutan pengukuhan PKP, baik atas permohonan Wajib Pajak maupun secara jabatan;
  4. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
  5. pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN);
  6. pencocokan data dan/atau alat keterangan;
  7. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
  8. penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN;
  9. pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
    penentuan saat produksi dimulai;
  10. penentuan perpanjangan jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan;
  11. memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B);
  12. pemeriksaan dalam rangka Mutual Agreement Procedures (MAP); dan
  13. pemeriksaan dalam rangka Advanced Pricing Agreement (APA). 

Bagaimana wajib pajak tahu kriteria pemeriksaan tujuan lain? Silakan ditanyakan ke pemeriksa! Itu cara terbaik. Atau bisa dilihat di Surat Perintah Pemeriksaan (SP2). Lihat kode pemeriksaan. Menurut SE-06/PJ/2016 bahwa kode pemeriksaan tujuan lain dimulai dengan angka 5. Misal kode pemeriksaan 5321 dan 5322 untuk Penghapusan NPWP dan/atau Pencabutan Pengukuhan PKP berdasarkan permohonan Wajib Pajak. 

Cek tulisan terbaru di aguspajak.com/blog



 

kenaikan harta yang tidak jelas sumbernya merupakan penghasilan

kenaikan harta yang tidak jelas sumbernya merupakan penghasilan

kenaikan harta yang tidak jelas sumbernya merupakan penghasilan
Apakah anda banyak harta yang tidak jelas sumbernya? Sumber harta dalam "kacamata" perpajakan adalah sumber penghasilan untuk mendapatkan harta tersebut. Petugas pajak harus memastikan bahwa harta yang dimiliki berasal dari sumber penghasilan yang sudah dikenai PPh. Penghasilan tersebut sudah dibayar PPh-nya. Jika tidak jelas atau jelas belum bayar PPh maka petugas pajak akan menagih pajak penghasilan atas harta tersebut.

Sumber penghasilan dapat berupa hasil usaha, upah dan gaji dari pekerjaan, penjualan harta yang sebelumnya dikuasai, hasil investasi saham, hasil dari passive income seperti bunga dan sewa. Bisa sumber penghasilan dari penghasilan yang memang bukan objek Pajak Penghasilan seperti bantuan, sumbangan, hibah, warisan, klaim asuransi jiwa dan asuransi kesehatan.

Baik yang sudah dikenai PPh final maupun yang bukan objek Pajak Penghasilan, semua penghasilan wajib hukumnya dilaporkan di SPT Tahunan. Jika tidak maka bisa jadi nanti dobel pengenaan karena petugas pajak menganggap bahwa atas penghasilan tersebut belum dikenai pajak.

Begitu juga atas penghasilan yang sudah dipotong oleh orang lain dan dibayar oleh orang lain, tetap wajib dilaporkan. Dari sisi otoritas pajak, laporan pemotongan PPh yang dilaporkan di SPT Tahunan akan memberikan informasi ke otoritas pajak bahwa dia sudah dipotong oleh pihak lain dan otoritas pajak (DJP) akan melakukan cek silang. Jika belum disetor, maka DJP akan menagih.

Kenaikan atau penuruan nilai harta harus seimbang dengan total penghasilan. Termasuk penghasilan istri. Maksudnya, jika ada kenaikan harta yang tinggi yang tidak diikuti dengan kenaikan penghasilan, maka kenaikan tersebut secara logika memang membuktikan adalah penghasilan yang belum dilaporkan.

Harta yang diperoleh dengan cicilan tetap harus dilaporkan. Misal kita beli rumah melalui KPR. Nilai rumah 750 juta rupiah. Rumah tersebut kita laporkan di SPT Tahunan. Kemudian kita laporkan hutang di bank sebesar 600 juta rupiah. Maka otoritas pajak akan membaca bahwa kenaikan hartanya cuma 150 juta yang berasal dari penghasilan atau tabungan Wajib Pajak. 

Bagaimana jika sebelumnya kita belum pernah lapor. Nah sekarang mau lapor. Kan tahun lalu di SPT Tahunan harta kita kosong, kemudian tiba-tiba harta kita sekarang besar. Berarti besar dong penghasilan yang belum dilaporkan? Benar! 

Itulah pentingnya tax amnesty.  Supaya ada cut off. Wajib Pajak yang ikut program tax amnesty seperti di SPBU pelayan bilang, "Mulai dari nol ya Pak".



 

 

pemeriksaan data konkret yang lebih sederhana

pemeriksaan data konkret yang lebih sederhana

 Akhir Februari 2016 Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan kebijakan pemeriksaan yang baru. Sebenarnya banyak perubahan dalam kebijakan pemeriksaan 2016 ini. Tetapi untuk postingan saat ini, saya hanya akan menyampaikan terkait pemeriksaan data konkret. Hal ini terkait dengan "sesuatu yang baru" dalam bidang pemeriksaan pajak. Walaupun sebelumnya sudah diatur dalam SE-27/PJ/2015 maka kali ini versi "kodifikasinya".



Untuk pertama kalinya, SE-06/PJ/2016 membagi pemeriksaan khusus ke dalam dua bagian, yaitu pemeriksaan data konkret dan pemeriksaan analisis risiko.
  • Pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data konkret, merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan keterangan lain berupa data konkret menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; 
  • Pemeriksaan    khusus    berdasarkan    analisis    risiko    (risk    based    audit), merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil analisis risiko menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Keterangan lain berupa data konkret adalah data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, berupa:
  1. hasil klarifikasi/konfirmasi Faktur Pajak; 
  2. bukti pemotongan Pajak Penghasilan;
  3. data perpajakan terkait dengan Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) UU KUP dan setelah ditegur secara tertulis Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran; atau
  4. bukti transaksi atau data yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Dalam prakteknya, sesuai dengan SE-35/PJ/2015 bahwa Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terlebih dahulu akan mengirim Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK).  SP2DK diterbitkan untuk meminta penjelasan atas data dan/atau keterangan kepada Wajib Pajak terhadap dugaan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. 

KPP memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk menyampaikan tanggapan atas SP2DK paling lama 14 (empat belas) hari setelah:
  • tanggal kirim SP2DK melalui pos, jasa ekspedisi, atau jasa kurir, atau
  • tanggal disampaikan SP2DK secara langsung oleh petugas.
Respon Wajib Pajak atas SP2DK akan dianalisis oleh petugas di KPP. Secara umum analisisnya akan menghasilanya kesimpulan seperti ini:
  1. Wajib Pajak tidak memberikan tanggapan.
  2. Wajib Pajak menyampaikan tanggapan secara langsung, namun menolak menandatangani BA Pelaksanaan Permintaan Penjelasan.
  3. Wajib Pajak memberikan tanggapan secara langsung maupun tertulis berupa penjelasan atas Data dan/atau Keterangan yang sesuai dengan simpulan hasil penelitian dan analisis, namun belum menyampaikan SPT atau SPT pembetulan.
  4. Wajib Pajak menyampaikan tanggapan secara langsung maupun tertulis, dengan menyampaikan SPT atau SPT pembetulan dengan perhitungan pajak sesuai dengan simpulan hasil penelitian.
  5. Wajib Pajak memberikan tanggapan secara langsung maupun tertulis, dengan menyampaikan SPT atau SPT pembetulan dengan perhitungan pajak yang terutang tidak sesuai dengan simpulan hasil penelitian dan analisis.
  6. Wajib Pajak memberikan tanggapan secara tertulis dan menyanggah kebenaran Data dan/atau Keterangan yang disertai dengan bukti dan/atau dokumen pendukung, dan sanggahan tersebut sesuai dengan simpulan hasil penelitian dan analisis.
Nah, menurut SE-39/PJ/2015 bahwa respon yang berwarna merah diatas dapat diajukan pemeriksaan.

Kemudan SE-06/PJ/2016 membuat menentukan langkah-langkah yang dapat dilakukan di KPP. Kepala Seksi yang memperoleh data konkret melakukan pembahasan dengan Kepala KPP dan Kepala Seksi Pemeriksaan untuk menentukan tindaklanjutnya, yaitu atas data konkret :
  • dilakukan Pemeriksaan Khusus hanya terbatas pada data tersebut, atau
  • diperluas menjadi Pemeriksaan Khusus untuk beberapa atau seluruh jenis pajak 
Pelaksanaan pemeriksaan data konkret akan dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak melalui pemeriksaan kantor. Batasan-batasan yang khas pemeriksaan data konkret yaitu:
  • Ruang lingkup Pemeriksaan Khusus berdasarkan keterangan lain berupa data konkret baik untuk UP2 Domisili maupun UP2 Lokasi hanya meliputi satu jenis pajak;
  • Pemeriksaan Khusus Berdasarkan Keterangan Lain Berupa Data Konkret dilakukan dengan menguji dan melakukan klarifikasi atas data yang dimiliki, sehingga tidak perlu membuat audit plan dan melakukan peminjaman dokumen
  • Jangka waktu pengujian Pemeriksaan  Khusus  berdasarkan  Keterangan  Lain Berupa Data Konkret paling lama 1 (satu) bulan dan tidak dapat diperpanjang;
  • Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil  Pemeriksaan  atas  Pemeriksaan Khusus Berdasarkan Keterangan Lain Berupa Data Kankret paling lama 10 (sepuluh) hari dan tidak ada pembahasan dengan Tim Quality Assurance.
SE-06/PJ/2016 juga memberikan penjelasan terkait data-data lain yang mungkin ditemukan setelah terbit SKPKB hasil pemeriksaan data konkret. Hal ini terkait dengan pemeriksaan data konkret fokus dan hanya menerbitkan SKPKB atas data tertentu saja.
Jika ditemukan data lain di luar data konkret yang sudah diterbitkan skp untuk Masa Pajak dan jenis pajak yang sama, maka diusulkan Pemeriksaan Ulang
Contoh, jika pemeriksaan data konkret berupa tindak lanjut SP2DK dengan data faktur pajak (PPN), katakanlah faktur pajak nomor 1 sampai dengan 10, maka Petugas Pemeriksa Pajak akan menerbitkan SKPKB PPN atas data tersebut. Di kemudian hari, ditemukan faktur pajak lain, katakanlah faktur pajak nomor 11 sampai dengan 18, maka atas temuan kedua ini akan dilakukan pemeriksan ulang atas SKPKB PPN. Hasil pemeriksaan ulang dapat berupa SKPKBT PPN.

Pemeriksaan data konkret juga bisa dilakukan untuk menerbitkan SKPKB PPh OP atau Badan. PPh OP dan Badan sering disebut juga PPh Pasal 25/29. Lebih lengkapnya cek tabel kode pemeriksaan data konkret berikut:
Daftar Kode Pemeriksaan Data Konkret





Satu Lagi Kebijakan Pajak Yang Meringankan Wajib Pajak di Tahun 2015

Satu Lagi Kebijakan Pajak Yang Meringankan Wajib Pajak di Tahun 2015

#Insentif #Pajak di Tahun 2015 Bagi Wajib Pajak Yang Diperiksa
Tahun 2015 memang sudah ditetapkan sebagai tahun pembinaan Wajib Pajak. Berbagai keringanan pembayaran pajak diberikan. Dengan memanfaatkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015, DJP membuat "jurus" baru dalam pemeriksaan pajak. Surat Edaran nomor SE-53/PJ/2015 memberikan petunjuk agar "tidak dilakukan pemeriksaan" jika sebelum pemeriksaan, Wajib Pajak telah memanfaatkan #PMK91. Tetapi bagaimana jika sudah dilakukan pemeriksaan?



Di postingan sebelumnya, saya menyebutkan bahwa jika pemeriksaan sudah dimulai, maka proses pemeriksaan harus diteruskan sampai selesai, dan Wajib Pajak menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) kecuali berdasarkan pertimbangan tertentu dari Dirjen Pajak. 

Sekarang ini, Direktur Jenderal Pajak sudah menerbitkan intruksi nomor INS-04/PJ/2015 tanggal 3 November 2015 yang memerintahkan kepada UP2 untuk membuat LHP Sumir berdasarkan kriteria "terdapat keadaan tertentu berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak" yang diatur di Pasal 21 huruf e Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013.
Intruksi Dirjen Pajak tentang penyelesaian pemeriksaan khusus melalui penghentian pemeriksaan dalam rangka Tahun Pembinaan


Keadaan tertentu menurut "tafsiran" intruksi nomor INS-04/PJ/2015 adalah kemauan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan untuk memanfaatkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015.

Adapun cara menunjukkan "kemauan" tersebut, prosedurnya seperti ini:
  • Wajib Pajak membuat perhitungan tersendiri (dalam bentuk SPT Pembetulan atau SPT) sesuai keadaan sebenarnya;
  • Perhitungan tersebut disampaikan ke Tim Pemeriksa
  • Perhitungan diteruskan ke Kepala Seksi Pemeriksaan
  • Kepala Seksi Pemeriksaan membuat undangan pembahasan
Pembahasan dilakukan oleh Kepala KPP, Kepala Seksi Pemeriksaan, Kepala Seksi Waskon, Tim Pemeriksa, dan Wajib Pajak. Pembahasan dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan. 

Jika perhitungan Wajib Pajak, Tim Pemeriksa dan tim pembahas maka Wajib Pajak tinggal bayar. Tetapi jika tidak cocok, pemeriksaan tetap dilanjutkan dan akan diterbitkan SPHP menurut perhitungan Tim Pemeriksa.

Berita Acara Pembahasan tersebut menjadi dasar pembayaran pajak oleh Wajib Pajak. Setelah pajak yang kurang dibayar dilunasi oleh Wajib Pajak ke Bank Persepsi, maka Tim Pemeriksa menghentikan pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir.
Berita Acara Pembahasan yang menjadi dasar pembayaran pajak dan penghentian pemeriksaan



Sekedar tambahan:
#LHPSumir artinya pemeriksaan "dianggap tidak ada". Jika ada data lain selain data yang sudah ditemukan tim pemeriksa sebelumnya, maka dapat dilakukan pemeriksaan kembali dan bukan pemeriksaan ulang.

"Laporan Hasil Pemeriksaan Sumir yang selanjutnya disebut LHP Sumir adalah laporan tentang penghentian Pemeriksaan tanpa adanya usulan penerbitan surat ketetapan pajak"








Pemeriksaan Pajak Berdasarkan Data Konkret

Pemeriksaan Pajak Berdasarkan Data Konkret

Pemeriksaan Pajak Berdasarkan Data Konkret
gambar diambil dari defensetax.com
Istilah data konkret bermula dari Pasal 13 ayat (1) UU KUP. Aturan ini memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain. Nah, keterangan lain dalam penjelasannya disebut sebagai data konkret.


Sebelum ada Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2011, SKPKB terbit berdasarkan hasil pemeriksaan dan penelitian. Prosedur penelitian ini berdasarkan "keterangan lain" sebagaimana dimaksud Pasal 13 (1) UU KUP. Kemudian berdasarkan PP 74 keterangan lain ini dieksekusi dengan verifikasi. Jadi, keterangan lain alias data konkret menjadi SKPKB setelah dilakukan verifikasi.

Aturan verifkasi ini ternyata pro dan kontra. Akhir dari perseteruan verifikasi ini dengan dilakukan judicial review oleh Kadin ke Mahkamah Agung. Hasilnya, Mahkamah Agung memenangkan Kadin. Sehingga sekarang tidak ada lagi verifikasi. Untuk mengeksekusi data konkret, Menteri Keuangan kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 184/PMK.03/2015 tentang perubahan tata cara pemeriksaan.

Jadi sekarang, data konkret akan menjadi SKPKB dan menjadi tagihan Negara hanya melalui prosedur pemeriksaan.

Lantas, apa data konkret itu? Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU KUP berbunyi:
Keterangan lain tersebut adalah data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, antara lain berupa hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti pemotongan Pajak Penghasilan

DATA KONKRET
Pada kebanyakan data konkret yang terkait faktur pajak adalah faktur pajak yang diterbitkan oleh PKP tetapi tidak dilaporkan. Kantor pajak punya dua cara mengetahui data konkret ini:

  • data data lawan transaksi yang mengkreditkan pajak masukan,
  • nomor transaksi diberikan oleh sistem eNofa
Sejak berlakunya efaktur (faktur pajak elektronik) tentu saja PKP akan kesulitan untuk membantah faktur pajak. Semua efaktur harus mendapatkan "Approve" dari server DJP. Dengan prosedur approve yang ada di efaktur, maka setiap terbit faktur, data-data transaksi sudah terekam di server DJP. Ini adalah data konkret.

Bukti Potong PPh adalah bagian dari sistem withholding taxes. Wajib Pajak diberikan kewajiban untuk memotong dan/atau memungut pajak orang lain. Bukti bahwa dia sudah memotong pajak, si pemotong wajib membuat Bukti Potong PPh. Oleh penerima penghasilan Bukti Potong ini dilaporkan di SPT Tahunan PPh.

Bukti Potong PPh jenisnya banyak sesuai dengan jenis pajak yang dipotong. Jenis pajak yang dimaksud adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 (2), dan PPh Pasal 15.

Ke depan, DJP sebenarnya akan mengikuti efaktur untuk prosedur penerbitkan Bukti Potong PPh ini. Mungkin akan dilakukan setelah efaktur nasional. Tahun 2016 efaktur menjadi wajib bagi semua PKP di seluruh Indonesia. Semoga tahun 2017 Bukti Potong PPh juga sudah eletronik online.

Sebenarnya data konkret tidak terbatas pada faktur pajak dan bukti potong. UU KUP menyebut faktur pajak dan bukti potong sebagai "antara lain". Artinya, dua hal ini sebagai contoh saja.

Karena itu, Pasal 14 ayat (2) PP 74 tahun 2011 memperjelas data konkret menjadi empat:

  • hasil klarifikasi/konfirmasi faktur pajak;
  • bukti pemotongan Pajak Penghasilan;
  • data perpajakan terkait dengan Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang dan setelah ditegur secara tertulis Surat Pemberitahuan tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; atau
  • bukti transaksi atau data perpajakan yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak.



PEMERIKSAAN DATA KONKRET
Gampangnya, Peraturan Menteri Keuangan nomor 184/PMK.03/2015 "mengganti nama" verifikasi dengan pemeriksaan karena miripnya prosedur keduanya. Mirip tidak berarti sama kan?!

Pemeriksaan pajak berdasarkan data konkret dilakukan dengan pemeriksaan kantor. Artinya, pemeriksaan dilakukan di kantor pajak. Tetapi jika ada dasar pemeriksaan lain selain data konkret, maka pemeriksaan dilakukan dengan pemeriksaan lapangan.

Pemeriksaan pajak data konkret tidak memiliki hak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan. Pembahasan dengan Tim QA ini berfungsi 2nd opinions dan dapat membatalkan temuan pemeriksa.

Pasal 13 terkait Tim QA sekarang menjadi seperti ini:

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Wajib Pajak berhak: ...
mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan, dalam hal masih terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali untuk Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret yang dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor

Jangka waktu pengujian data konkret adalah satu bulan saja. Jangka waktu pengujian bagian dari jangka waktu pemeriksaan. Sejak Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 jangka waktu pemeriksaan dibagi dua, yaitu:
  • jangka waktu pengujian
  • jangka waktu pembahasan
Berbeda dengan jangka waktu pengujian pada pemeriksaan kantor lainnya, khusus pemeriksaan pajak berdasarkan data konkret tidak dapat diperpanjang. Sehingga total jangka waktu pengujian hanya sebulan. 

Selain pemeriksaan data konkret, jangka waktu pengujian dalam pemeriksaan kantor paling lama empat bulan dan dapat diperpanjang dua bulan sehingga total bisa enam bulan.

Jangka waktu pembahasan pemeriksaan berdasarkan data konkret juga lebih singkat, yaitu hanya sepuluh hari kerja saja alias dua minggu.

Penyelesaian pemeriksaan ditutup dengan LHP (laporan hasil pemeriksaan). Ada dua jenis "penutup" pemeriksaan pajak, yaitu:
  • LHP Sumir, dan
  • LHP
Jika pemeriksaan dilakukan dengan LHP Sumir maka pemeriksaan dianggap "tidak dilakukan pemeriksaan". Setelah LHP Sumir, maka pemeriksaan dapat dilakukan lagi dan bukan pemeriksaan ulang.

Wajib Pajak atau wakil Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak yang tidak merespon pemeriksaan data konkret, pemeriksa tetap dapat membuat LHP dan menerbitkan SKPKB. Hal ini diatur di Pasal 22 ayat (1) huruf d Peraturan Menteri Keuangan nomor 184/PMK.03/2015
Penyelesaian Pemeriksaan dengan membuat LHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, dilakukan dalam hal: Wajib Pajak, wakil, atau kuasa Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret dengan Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor diterbitkan
Jangka waktu sebulan tersebut dibaca sebagai jangka waktu pengujian. Setelah sebulan berlalu, baik wajib pajak merespon maupun wajib pajak tidak merespon, pemeriksa pajak tetap menyampaikan SPHP (surat pemberitahuan hasil pemeriksaan) kepada wajib pajak.

Menghitung satu bulan itu dimulai sejak tanggal Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor diterbitkan. Pemeriksa pajak harus hati-hati dengan pengiriman Surat Penggilan ini. Bisa jadi surat belum diterima oleh wajib pajak. Baiknya, pemeriksa meyakinkan bahwa surat penggilan diterima.

Pada beberapa kasus, kantor pajak mengalami kesulitan dalam pengiriman surat ke Wajib Pajak. Baik kesulitan karena geografis maupun teknik pengiriman. Bisa jadi perusahaan ekspedisi telat menyampaikan jika perusahaan yang menjadi rekanan KPP tidak baik.

Sejak Surat Penggilan diterbitkan artinya sejak tanggal surat. Proses dari tanggal surat sampai surat diterima oleh Wajib Pajak harus diperhatikan baik oleh pemeriksa pajak maupun oleh Wajib Pajak agar hak wajib pajak bisa terpenuhi.

Terdapat perbedaan cara penyampaian undangan tertulis untuk menghadiri pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Jika pada pemeriksaan pajak "normal" undangan tertulis untuk menghadiri pembahasan akhir hasil pemeriksaan disampainya setelah pemeriksa memberikan kesempatan untuk menyampaikan tanggapan SPHP, maka pada pemeriksaan pajak berdasarkan data konkret undangan disampaikan bersamaan dengan SPHP.

Mengingat jangka waktu pembahasan hanya 10 hari kerja, maka terbatas waktu bagi pemeriksa jika undangan tertulis untuk menghadiri pembahasan akhir hasil pemeriksaan harus menunggu jangka waktu respon SPHP.

Jadi, pemeriksa pajak akan menyampaikan SPHP bersamaan dengan undangan tertulis untuk menghadiri pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Setelah itu, Wajib Pajak menyampaikan tanggapan tertulis pada saat menghadiri pembahasan.

Itulah poin-poin perbedaan pemeriksaan pajak berdasarkan data konkret dengan pemeriksaan pajak kantor lainnya.

Secara langkap, langkah-langkah pemeriksaan kantor dalam hal ruang lingkup pemeriksaan hanya dilakukan terhadap keterangan lain berupa data konkret sebagai berikut:
  1. Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor,
  2. Surat Peminjaman Dokumen bersamaan dengan surat penggilan,
  3. Wajib Pajak memenuhi panggilan ke kantor pajak,
  4. Pengujian dokumen terkait data konkret oleh pemeriksa pajak,
  5. Sebulan kemudian, disampaikan SPHP dan Undangan Pembahasan ke Wajib Pajak
  6. Pembahasan hasil pemeriksaan dalam jangka waktu 10 hari,
  7. Dibuat LHP dan diterbitkan SKPKB 




Iklan