Tampilkan postingan dengan label Objek PPh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Objek PPh. Tampilkan semua postingan
Kewajiban Pelaporan Utang Swasta Luar Negeri dalam SPT Tahunan PPh

Kewajiban Pelaporan Utang Swasta Luar Negeri dalam SPT Tahunan PPh

Direktur Jenderal Pajak mewajibkan pelaporan utang swasta luar negeri dalam SPT Tahunan PPh Badan. Walaupun ketentuan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan nomor 169/PMK.010/2015 berlaku baik bagi wajib pajak badan maupun orang pribadi tetapi Pasal 7 Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2017 hanya mewajibkan kepada wajib pajak badan saja.


Kewajiban melaporkan utang swasta muncul di Peraturan Menteri Keuangan nomor 169/PMK.010/2015. Kemudian Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2017 mengatur lebih lanjut media kewajiban pelaporan utang swasta luar negeri.

Pasal 7 ayat 2 PER-25/PJ/2017 berbunyi :
Dalam hal Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki utang swasta luar negeri, Wajib Pajak juga wajib menyampaikan laporan utang swasta luar negeri sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan

Selain itu, PER-25/PJ/2017 mengatur format perbandingan utang dan modal. Sehingga ada 2 (dua) lampiran SPT Tahunan yang harus dibuat, yaitu :

  1. Laporan Penghitungan Besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal; 
  2. Laporan Utang Swasta Luar Negeri. 
Kewajiban penyampaian laporan penghitungan besarnya perbandingan antara utang dan modal dan laporan utang swasta luar negeri mulai berlaku sejak tahun pajak 2017. 

Sehingga bagi wajib pajak yang sedang menyiapkan SPT Tahunan dan ada utang swasta, segera siapkan laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal dan Laporan Utang Swasta Luar Negeri sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.

Berikut contoh format laporan penghitungan besarnya perbandingan antara utang dan modal :
raden agus suparman : contoh format laporan penghitungan besarnya perbandingan antara utang dan modal (Laporan DER)



Sedangkan contoh format laporan utang swasta luar negeri sebagai berikut :
raden agus suparman : contoh format laporan utang swasta luar negeri

Aturan DER (Debt to Equity Ratio) di Indonesia
Besarnya perbandingan antara utang dan modal sering disingkat DER, yaitu singkatan dari debt to equity ratio. DER menunjukkan persentase penyediaan dana oleh pemegang saham terhadap pemberi pinjaman. Semakin besar angka DER menunjukkan semakan besar komposisi utang dibandingkan dengan modal sendiri.

DER pertama kali diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.01/1985. Keputusan ini menetapkan DER setinggi-tingginya tiga dibanding satu (3 : 1).

Sayang tahun berikutnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984 ditunda pelaksanaannya oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.01/1985.

Aturan DER muncul lagi dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 169/PMK.010/2015. Aturan ini membatasi  DER setinggi-tingginya empat dibanding satu (4 : 1). Hanya saja aturan DER terakhir dikecualikan bagi :
  1. Wajib Pajak bank;
  2. Wajib Pajak lembaga pembiayaan;
  3. Wajib Pajak asuransi dan reasuransi;
  4. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, dan dalam kontrak atau perjanjian dimaksud mengatur atau mencantumkan ketentuan mengenai batasan perbandingan antara utang dan modal; dan
  5. Wajib Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri; dan
  6. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur.
Perpajakan sangat berkepentingan dengan pengaturan DER karena terkait dengan kewajaran biaya pinjaman. Bagi biaya pinjaman yang tidak wajar, maka biaya tersebut dianggap bukan biaya.

Biaya pinjaman yang tidak memenuhi ketentuan DER diatas (lebih dari 4), dianggap sebagai dividen bagi pihak yang menerima atau memperolehnya dan dikenakan pajak pada saat biaya pinjaman tersebut dibayarkan atau jatuh tempo pembayarannya, jika penerima biaya pinjaman memiliki hubungan istimewa. Karena dianggap dividen, maka bukan biaya dan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Tetapi jika tidak memiliki hubungan istimewa, tentu bukan dividen tetapi bukan biaya juga. Yang pasti, atas kelebihan diatas 4 tidak dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak.

Tetapi jika nominal saldo equitas Rp0 (nol rupiah) atau minus rupiah, maka biaya pinjaman tersebut seluruhnya dianggap bukan biaya dan tidak dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak.

Ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan terkait hubungan istimewa tetap berlaku. Jadi biaya pinjaman atas utang kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut harus pula memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

Berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha pula maka tidak mungkin ada pinjaman tanpa bunga. Menurut Peraturan Pemerintah nomor 94 tahun 2010 pinjaman tanpa bunga dibolehkan dengan syarat.

Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas diperkenankan apabila:

  • pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain;
  • modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya;
  • pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan
  • perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.

Cek tulisan terbaru di aguspajak.com/blog









Perlakuan Perpajakan Bagi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum

Perlakuan Perpajakan Bagi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum

http://www.uinjkt.ac.id
Perguruan tinggi negeri badan hukum, disingkat PTN BH adalah perguruan tinggi negeri yang didirikan oleh pemerintah yang berstatus sebagai badan hukum publik yang otonom. Dahulu dikenal sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan Badan Hukum Pendidikan (BHP), Wikipedia. Menurut Surat Edaran Dirjen Pajak nomor SE-34/PJ/2017 bahwa PTN BH merupakan subjek pajak dalam negeri karena tidak memenuhi kriteria unit tertentu dari badan pemerintah yang dikecualikan sebagai subjek dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan.

PTN BH sebagai subjek pajak dalam negeri mencakup fakultas, jurusan, departemen, dan bagian lain yang merupakan bagian dari PTN BH sebagai badan hukum. Tetapi jika ada badan hukum terpisah dibawah PTN BH maka status badan hukum terpisah menjadi subjek pajak terpisah juga. Jadi, subjek pajak melekat pada badan hukum.

OBJEK PAJAK PENGHASILAN
Perlakuan pajak penghasilan atas penerimaan PTB BH ada dua :

  • dikecualikan sebagai objek yaitu harta hibah, bantuan, dan sumbangan;
  • objek pajak penghasilan.

Penerimaan PTN BH yang dikecualikan adalah harta hibah, bantuan, dan sumbangan. Penerimaan tersebut dikecualikan sepanjang memenuhi persyaratan Peraturan Menteri Keuangan nomor 245/PMK.03/2008.

Menurut PMK-245, dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan adalah harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang diterima oleh:

  • keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat;
  • badan keagamaan;
  • badan pendidikan;
  • badan sosial termasuk yayasan dan koperasi; atau
  • orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil.


Badan pendidikan dimaksud adalah badan pendidikan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan pendidikan yang tidak mencari keuntungan. PMK-245 tidak mengatur lebih lanjut perihal badan pendidikan yang tidak menceri keuntungan. 

Sedangkan penerimaan PTN BH yang menjadi objek pajak penghasilan yaitu:

  1. Bantuan Pendanaan PTN BH, dan
  2. Sisa lebih.

Mengutip SE-34/PJ/2017 bahwa Bantuan Pendanaan PTN BH yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara berupa bantuan Pendanaan PTN Badan Hukum dan yang bersumber dari selain anggaran pendapatan dan belanja negara yang diterima PTN Badan Hukum merupakan objek Pajak Penghasilan.

Bantuan Pendanaan PTN BH adalah subsidi yang diberikan oleh Pemerintah kepada PTN BH yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk penyelenggaraan dan pengelolaan Pendidikan Tinggi.

Pendanaan PTN BH yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara diberikan dalam bentuk:

  • bantuan Pendanaan PTN Badan Hukum; dan/atau
  • bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pendanaan PTN Badan Hukum yang bersumber dari selain anggaran pendapatan dan belanja negara bersumber dari:

  1. masyarakat;
  2. biaya pendidikan;
  3. pengelolaan dana abadi;
  4. usaha PTN BH;
  5. kerja sama tridharma Perguruan Tinggi;
  6. pengelolaan kekayaan PTN BH;
  7. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau
  8. pinjaman.


Sisa lebih yang merupakan objek pajak penghasilan PTN BH adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba. 

Ketentuan tentang sisa lebih diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 80/PMK.03/2009 jo Peraturan Direktur Jenderal nomor PER-44/PJ/2009.

Biaya operasional sehari-hari badan adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri.

Sisa lebih ini diperlakukan sebagai dikecualikan dari objek pajak penghasilan jika dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut 

  • ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan 
  • yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak manapun 
  • dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya

Pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana adalah pembelian, pengadaan dan/atau pembangunan fisik sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang meliputi :

  1. pembelian atau pembangunan gedung dan prasarana kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan gedung dan prasarana tersebut;
  2. pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium dan perpustakaan; atau
  3. pembelian atau pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas, guru, dosen atau karyawan, dan sarana prasarana olahraga, sepanjang berada dilingkungan atau lokasi lembaga pendidikan formal.


Ada satu syarat yang sering dilupakan terkait penggunaan sisa lebih ini, yaitu pemberitahuan ke KPP bersamaan dengan pelaporan SPT Tahunan. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka sisa lebih tersebut tetap menjadi objek pajak penghasilan pada tahun kelima.

Peraturan Menteri Keuangan nomor 80/PMK.03/2009 mengatur :
Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya, setelah jangka waktu 4 (empat) tahun tersebut ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku
Peraturan Direktur Jenderal nomor PER-44/PJ/2009 mengatur :
Badan atau lembaga nirlaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik sederhana dan rencana biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi yang membidanginya.

Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai
PTN BH wajib dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) jika memenuhi syarat :

  • melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
  • bukan kriteria pengusaha kecil.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 223/PMK.011/2014 mengatur bahwa jasa pendidikan yang dikecualian sebagai objek PPN meliputi jasa pendidikan formal, nonformal, dan informal. Baik pendidikan dasar, menengah maupun tinggi. Dan PTN BH termasuk pendidikan tinggi formal.

Tetapi ada jasa pendidikan yang merupakan objek PPN, yaitu :

  • jasa penyelenggaraan pendidikan, baik pendidikan formal, pendidikan nonformal, maupun pendidikan informal, yang tidak termasuk dalam rincian jasa penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
  • jasa penyelenggaraan pendidikan formal atau jasa penyelenggaraan pendidikan nonformal yang diserahkan satuan pendidikan yang tidak mendapatkan izin pendidikan dari instansi Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; atau
  • jasa pendidikan yang menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan penyerahan barang dan/atau jasa lainnya.
Dengan demikian, dalam hal PKP PTN BH melakukan penyerahan jasa yang tidak termasuk dalam jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai, maka wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan tersebut.

Cek tulisan terbaru di aguspajak.com/blog

 

Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Dan Dasar Penghitungannya Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek

Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Dan Dasar Penghitungannya Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek

Wajib Pajak Indonesia yang memiliki saham di luar negeri, baik langsung maupun tidak langsung, minimal sebesar 50% dan saham tersebut tidak terdaftar di bursa saham, dikenai deemed dividend. Ketentuan ini berlaku mulai tahun 2017 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.03/2017.

Deemed Dividend adalah dividen yang ditetapkan diperoleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada BULN (Badan Usaha Luar Negeri) Nonbursa  terkendali langsung.

Ketentuan pengendalian langsung terhadap BULN Nonbursa, yaitu:
Wajib Pajak dalam negeri yang:

  • memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada BULN Nonbursa; atau
contoh penyertaan langsung

  • secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada BULN Nonbursa. 
contoh penyertaan tidak langsung


Saat diperolehnya Deemed Dividend

Saat diperolehnya Deemed Dividend atas penyertaan modal langsung Wajib Pajak dalam negeri pada BULN Nonbursa terkendali langsung ditetapkan pada akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan bagi BULN Nonbursa terkendali langsung untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Dalam hal BULN Nonbursa terkendali langsung tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan, saat diperolehnya Deemed Dividend  ditetapkan pada akhir bulan ketujuh setelah tahun pajak yang bersangkutan berakhir.

Besarnya Deemed Dividend

Besarnya Deemed Dividend dihitung dengan cara mengalikan persentase penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri pada BULN Nonbursa terkendali langsung dengan dasar pengenaan Deemed Dividend. Dasar pengenaan Deemed Dividend  yaitu laba setelah pajak BULN Nonbursa terkendali langsung.

Contoh :
PT JKL yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri pada tahun akhir Tahun Pajak 2016 memiliki penyertaan modal langsung sebesar 65% (enam puluh lima persen) dari jumlah saham yang disetor VWX Ltd. di negara D. Saham VWX Ltd. tidak diperdagangkan di bursa efek.

Pada tahun pajak 2016, VWX Ltd. memperoleh laba setelah pajak sebesar US$50.000,00. 

Tahun pajak VWX Ltd. adalah 1 Januari s.d. 31 Desember 2016 dan batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan untuk tahun pajak dimaksud di negara tersebut paling lambat 31 Mei 2017, sehingga saat diperolehnya Deemed Dividend bagi PT JKL atas penyertaan modalnya pada VWX Ltd. adalah 30 September 2017. Nilai kurs USD terhadap Rupiah yang berlaku pada tanggal 30 September 2017 adalah Rp11.500,00/USD.

Dengan demikian, besarnya Deemed Dividend tahun 20 17 yang diperoleh PT JKL adalah 65% x US$ 50.000,00 = US$32.500,00. 

Deemed Dividend tersebut dilaporkan PT JKL sebesar USD32.500,00 x Rp11.500,00 /USD = Rp373.750.000,00 dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2017


Kredit Pajak Luar Negeri
Wajib Pajak dalam negeri dapat mengkreditkan pajak penghasilan yang telah dibayar atau dipotong atas dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung pada Tahun Pajak dibayarnya atau dipotongnya pajak penghasilan tersebut.

Dalam hal dividen yang diterima tidak melebihi Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan, besarnya pajak penghasilan yang dapat dikreditkan ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit di antara:
  • pajak penghasilan yang seharusnya terutang atau seharusnya dibayar di luar negeri atas dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung dengan memperhtikan ketentuan dalam P3B, dalam hal terdapat P3B yang berlaku efektif; 
  • pajak penghasilan yang terutang atau dibayar di luar negeri atas dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung; atau
  • jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan antara dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung terhadap jumlah Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan dikalikan dengan jumlah Pajak Penghasilan atas Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan tersebut. 

Dalam hal dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung melebihi Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan, besarnya pajak penghasilan yang dapat dikreditkan dihitung sebagai berikut:

    • terhadap bagian dividen yang diterima sampai dengan sebesar Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan, dihitung sesuai dengan ketentuan; dan
    • terhadap bagian dividen yang melebihi Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan, ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit di antara:
    1. pajak penghasilan yang seharusnya terutang atau seharusnya dibayar di luar negeri atas bagian dividen yang melebihi Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B, dalam hal terdapat P3B yang berlaku efektif;
    2. pajak penghasilan yang terutang atau dibayar di luar negeri atas bagian dividen yang melebihi Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan; atau
    3. jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan antara bagian dividen yang melebihi Deemed Dividend yang dapat diperhitungkan terhadap Penghasilan Kena Pajak, dikalikan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sebesar Pajak Penghasilan yang terutang pada Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak diterimanya dividen.
    Dalam hal dividen yang diterima bersumber dari 2 (dua) atau lebih negara atau yurisdiksi, penghitungan besarnya pajak penghasilan yang dapat dikreditkan dilakukan untuk masing-masing negara atau yurisdiksi (per country limitation).

    Persyaratan Kredit Pajak Luar Negeri
    Wajib Pajak dalam negeri yang mengkreditkan pajak penghasilan harus menyampaikan penghitungan pengkreditan pajak penghasilan yang telah dibayar atau dipotong atas dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali langsung kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan:

    1. laporan keuangan;
    2. fotokopi surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan, dalam hal terdapat kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan;
    3. perhitungan atau rincian laba setelah pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan
    4. bukti pembayaran pajak penghasilan atau bukti pemotongan pajak penghasilan atas dividen yang diterima, 
    dari BULN Nonbursa terkendali langsung bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh.


    Cek tulisan terbaru di aguspajak.com/blog



    Bentuk Usaha Tetap Bagi Perusahaan Yang Menyediakan Layanan OTT

    Bentuk Usaha Tetap Bagi Perusahaan Yang Menyediakan Layanan OTT

    Direktur Jenderal Pajak sudah memberikan petunjuk pelaksanaan bagi petugas pajak tentang penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT) bagi Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang menyediakan layanan aplikasi dan/atau layanan konten melalui internet melalui Surat Edaran nomor SE-04/PJ/2017. Menurut saya, surat edaran ini penafsiran resmi Direktorat Jenderal Pajak tentang BUT bagi perusahaan yang menyediakan layanan Over-The-Top (OTT).


    Layanan Over-The-Top (OTT) meliputi : 

    • layanan aplikasimelalui Internet dan/atau 
    • layanan konten melalui Internet.



    SE-04/PJ/2017 menjelaskan lebih lanjut bahwa layanan aplikasi melalui internet adalah penggunaan perangkat lunak yang memungkinkan terjadinya layanan komunikasi dalam bentuk pesan singkat, panggilan suara, panggilan video, surat elektronik, dan percakapan daring (chatting/instant messaging), serta layanan transaksi finansial, transaksi komersial, penyimpanan dan pengambilan data, mesin pencari, permainan (game), jejaring dan media sosial, termasuk turunannya dengan memanfaatkan jasa akses internet melalui penyelenggara jaringan telekomunikasi.

    Sedangkan yang dimaksuk layanan konten melalui internet adalah penyediaan informasi digital yang dapat berbentuk tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, permainan (game) atau kombinasi dari sebagian dan/atau semuanya, termasuk dalam bentuk yang dialirkan (streaming) atau diunduh (download) dengan memanfaatkan jasa akses internet melalui penyelenggara jaringan telekomunikasi.

    BUT adalah kendaraan atau alat. Subjek Pajak Luar Negeri tidak akan menerima penghasilan dari Indonesia kecuali melalui kendaraan atau alat. Hanya saja ada batasan kendaraan atau alat yang dapat dikenai Undang-Undang Pajak Penghasilan.

    Ketentuan domestik Indonesia, Undang-Undang Pajak Penghasilan menyebut :
    BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
    Untuk memahami maksud SE-04/PJ/2017 saya membagi BUT terkait OTT menjadi tiga tipe BUT, yaitu :

    • tempat
    • jasa,
    • agen

    Agen elektronik  tempat tetap (fixed place) adalah peralatan yang di dalamnya terdapat program komputer yang dapat melakukan tindakan atau respon atas input secara otomatis.

    BUT berupa tempat tetap dapat juga mencakup tempat lain sepanjang memenuhi ketentuan sebagai BUT dengan syarat tempat lain tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari SPLN.

    BUT Jasa berupa pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan (BUT Jasa) yang tidak mensyaratkan adanya termpat usaha yang bersifat permanen.

    BUT agen orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas(BUT Agen) dan tidak mensyaratkan adanya termpat usaha yang bersifat permanen.

    Penentuan keberadaan suatu BUT di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan bahwa usaha atau kegiatan yang dilakukan Subjek Pajak Luar Negeri tersebut tidak bersifat persiapan (preparatory) atau penunjang (auxiliary).

    Dengan demikian, BUT bagi Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang menyediakan layanan OTT dapat berupa:
    • tempat tetap yang dimiliki, disewa, atau dikuasai oleh SPLN atau pihak lain yang berada di Indonesia, seperti tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, bengkel atau workshop, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, komputer, server, pusat data, agen elektronik dan peralatan otomatis lainnya, yang digunakan oleh SPLN yang menyediakan Layanan OTT untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia; atau
    • keberadaan pegawai SPLN atau pihak lain yang bertindak untuk atau atas nama SPLN yang menyediakan Layanan OTT untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
    Nah itulah BUT layanan OTT menurut otoritas pajak Indonesia. Penegasan ini penting karena dalam hal terdapat BUT di Indonesia,  :

    1. perlakuan Pajak Penghasilan terhadap BUT tersebut dipersamakan dengan Subjek Pajak badan dalam negeri.
    2. Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1 ), ayat (2), dan ayat (2a) Undang-Undang PPh dapat dilakukan tanpa memperhatikan keberadaan BUT SPLN di Indonesia.


    Cek tulisan terbaru di aguspajak.com/blog




    Hak dan Kewajiban Perpajakan Wanita Kawin

    Hak dan Kewajiban Perpajakan Wanita Kawin

    Pada penerimaan SPT Tahunan bulan Maret 2015 kemarin, banyak Wajib Pajak yang "kecewa" dengan formulir yang baru. Di formulir yang baru ada bagian "Status Kewajiban Perpajakan Suami-Istri". Kemudian disodori lagi dengan satu lembar "Lembar Penghitungan Pajak Penghasilan Terutang Bagi Wajib Pajak Yang Kawin Dengan Status Perpajakan Suami-Isteri Pisah Harta Dan Penghasilan (PH) Atau Isteri Yang Menghendaki Untuk Menjalankan Hak Dan Kewajiban Perpajakannya Sendiri (MT)". Ternyata setelah dihitung ulang, pajak penghasilan menjadi lebih besar sehingga harus setor lagi.


    Terkait dengan kewajiban perpajakan istri, Direktur Peraturan Perpajakan II sudah menyampaikan panduan kepada kantor-kantor pajak.  Hal yang harus diperhatikan adalah "kehendak". Maksud saya, kalau memang tidak ada Akta Perjanjian Pisah Harta, maka seharusnya dibaca sebagai istri yang "tidak berkehendak". 
    Surat Pernyataan Wanita Kawin Menghendaki Menjalankan Kewajiban Perpajakan Terpisah Dengan Suami


    Berikut poin-poin penting yang saya copas dari S-1018/PJ.03/2014 tentang pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan wanita kawin.



    Tidakberkehendak menjalankan hak dan kewajiban terpisah (satu keluarga satu NPWP)
    • Pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan: menggunakan NPWP suami
    • NPWP yang sudah ada: wajib mengajukan permohonan penghapusan
    • Penghasian yang diterima atau diperoleh: dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suami, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
    • Penghasilan wanita kawin yang semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja: apabila telah dipotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya, maka PPh Pasal 21 yang telah dipotong bersifat final.
    • Pemotongan atau pemungutan PPh: wajib menunjukkan NPWP suami atau kepala keluarga kepada pemotong atau pemungutan PPh.
    • Perhitungan pajak penghasilan: Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang PPh.
    Ini bunyi Pasal 8 ayat (1) UU PPh:
    Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.

    • Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan SPT Tahunan dan Hak dan kewajiban lainnya: Ada pada suami




    Berkehendakmenjalankan hak dan kewajiban terpisah (baik suami maupun istri masing-masing punya NPWP)

    Pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan:
    • menggunakan NPWP masing-masing
    NPWP yang sudah ada:
    • Wajib menyampaikan Surat Pernyataan Menghendaki Menjalankan Kewajiban Perpajakan secara Terpisah
    Penghasian yang diterima atau diperoleh:
    • Dianggap sebagai penghasilan atau kerugian sendiri.
    Penghasilan wanita kawin yang semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja:
    • PPh Pasal 21 yang telah dipotong tidak bersifat final.
    Pemotongan atau pemungutan PPh:
    • wajib menunjukkan NPWPnya sendiri kepada pemotong atau pemungut PPh.
    Perhitungan pajak penghasilan:
    • Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang PPh.
    Ini bunyi Pasal 8 ayat (3) UU PPh:
    Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.

    Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan SPT Tahunan dan Hak dan kewajiban lainnya:

    • dilakukan sendiri oleh wanita kawin
      
    Untuk istri yang bekerja apalagi sebagai pegawai, saya selalu menyarankan untuk meminta penghapusan NPWP. Hal ini selain tidak merepotkan dia, juga memang itulah yang dikehendaki oleh pembuat UU PPh. Cukup datang ke KPP, bawa copy Kartu Keluarga dan copy KTP suami dan istri. Di KPP tinggal isi formulir.

    Ini contoh formulir penghapusan NPWP di KPP:

    Contoh Formulir Penghapusan NPWP


    Cek tulisan terbaru di aguspajak.com/blog



    tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak

    tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak

    tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
    gambar dari emas24karang.com
    Objek PPh sesuai namanya adalah penghasilan. Secara umum, definisi penghasilan diatur di Pasal 4 ayat (1) UU PPh, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
    Salah satu kriteria penghasilan adalah menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan. Secara teori, ini merupakan metode penghitungan Penghasilan Kena Pajak berdasarkan pemakaian penghasilan, expenditure atau penggunaan penghasilan.

    Hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi dan sisanya yang ditabung menjadi kekayaan Wajib Pajak, termasuk yang dipakai membeli harta sebagai investasi, merupakan penghasilan. Ini sebenarnya penerapan rumus: Y = C + S untuk keperluan perpajakan, dimana y sebagai penghasilan, c sebagai konsumsi, dan s sebagai tabungan.

    Dalam praktek, menghitung PPh terutang dibatasi oleh tahun pajak. Ketetapan pajak yang diterbitkan oleh kantor pajak hanya bisa per tahun pajak. Satu surat ketetapan pajak tidak mungkin untuk dua tahun pajak atau lebih.

    Sedangkan kriteria "menambah kekayaan Wajib Pajak" merupakan sisa yang ditabung menjadi kekayaan. Artinya kumulatif dari kekayaan yang ada per tanggal tertentu. Atau sisa kekayaan yang ada pada akhir tahun tertentu.

    Kenapa akhir tahun? Karena daftar kekayaan yang dilaporkan oleh Wajib Pajak ke kantor pajak pada umumnya per 31 Desember dan dilaporkan di SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.


    semua penghasilan akan "mengendap" menjadi kekayaan Wajib Pajak


    Menghitung tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak dilakukan dengan menjumlahkan total kekayaan, kemudian dikurangi dengan "penghasilan neto" yang sudah dikenai pajak. Sisanya tentu yang belum dikenai pajak.

    Penghasilan neto dalam hal ini merupakan penghasilan bruto dalam satu tahun dikurangi biaya hidup dalam tahun tersebut. Biaya hidup disini adalah semua pengeluran baik untuk konsumsi maupun pajak-pajak selain PPh. 


    contoh daftar pengeluran versi LHKPN

    Karena "menambah kekayaan Wajib Pajak" merupakan restan, sisa, atau saldo atas penghasilan-penghasilan masa lalu, maka objek PPh dari kriteria ini tidak ada tahun pajak. Kan yang dihitung juga restan kekayaan tahun yang diperiksa!

    Secara matematis, jika semua penghasilan yang menjadi restan kekayaan sudah dikenai pajak penghasilan tentu saja penghitungan "hasil kekayaan neto yang berasal dari penghasilan neto yang belum dikenakan pajak" hasilnya akan nihil. Walaupun penghitungannya berulang-ulang setiap tahun.

    Tetapi, jika penghitungan tersebut hasilnya terdapat "hasil kekayaan neto yang berasal dari penghasilan neto yang belum dikenakan pajak" maka itu merupakan objek PPh menurut Pasal 4 ayat (1) huruf p UU PPh.

    Cek tulisan terbaru di aguspajak.com/blog 

     





    Iklan