Tampilkan postingan dengan label Objek PPN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Objek PPN. Tampilkan semua postingan
Barang Kebutuhan Pokok Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai

Barang Kebutuhan Pokok Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai

Mahkamah Konstitusi RI telah mengabulkan permohonan dengan nomor permohanan 39/PUU-XIV/2016. Permohonan ini terkait dengan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-undang PPN. Ketentuan tersebut kurang lebih berbunyi seperti ini, "Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut: barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;"
Bagian batang tubuh tidak ada perincian barang kebutuhan pokok apa saja yang dimaksud. Tetapi di bagian penjelasan dan peraturan pelaksana, diantaranya peraturan menteri keuangan, menyebutkan 11 jenis kebutuhan pokok, yaitu :

Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:

  1. beras;
  2. gabah;
  3. jagung;
  4. sagu;
  5. kedelai;
  6. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
  7. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
  8. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
  9. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
  10. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
  11. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
Gugatan terkait dengan kata "meliputi" yang dimaknai pembatasan. Artinya selain yang 11 diatas tidak disebut makanan kebutuhan pokok dan tidak termasuk yang dikecualikan sebagai objek PPN.

Setelah gugatan diterima, maka Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017.

Inti dari Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017 adalah memperluas maksud barang kebutuhan pokok. 

Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai merupakan barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat, yang berupa:

  1. beras dan gabah;
  2. jagung;
  3. sagu;
  4. kedelai;
  5. garam konsumsi;
  6. daging;
  7. telur;
  8. susu;
  9. buah-buahan;
  10. sayur-sayuran;
  11. ubi-ubian;
  12. bumbu-bumbuan;
  13. gula konsumsi

Dan di peraturan menteri yang baru ada klausul bahwa daftar diatas dapat ditambah atau disesuaikan setelah mendapat usulan dari kementerian pembina sektor terkait.


Cek tulisan terbaru di aguspajak.com/blog

 


insentif pajak DIRE untuk menggoda investor dan menggairahkan pasar keuangan

insentif pajak DIRE untuk menggoda investor dan menggairahkan pasar keuangan

insentif pajak DIRE yang menggoda investor dan menggairahkan pasar keuangan
Konsep Bandung Teknopolis
Pemerintah melalui Kementrian Keuangan telah membuat insentif perpajakan yang ditujukan untuk lebih memberikan kepastian hukum dan mendukung pendalaman pasar bagi sektor keuangan serta mendorong pertumbuhan investasi di bidang real estat. Insentif perpajakan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Keuangan nomor 200/PMK.03/2015 tentang Perlakuan Perpajakan Bagi Wajib Pajak Dan Pengusaha Kena Pajak Yang Menggunakan Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu Dalam Rangka Pendalaman Sektor Keuangan

Instrukmen yang menjadi target PMK kali ini adalah DIRE (dana investasi real estat) atau REIT (real estate investment trust). Menurut definisi resminya, DIRE adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan pada aset Real Estat, aset yang berkaitan dengan Real Estat, dan/atau kas dan setara kas.

Menurut infovesta.com, DIRE diartikan sebagai kumpulan uang pemodal yang oleh perusahaan investasi akan diinvestasikan ke bentuk aset properti baik secara langsung seperti membeli gedung maupun tidak langsung dengan membeli saham/obligasi perusahaan properti.

Menurut penjelasan Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Pasar Modal bahwa kontrak investasi kolektif adalah kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Unit Penyertaan di mana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif.

DIRE berbeda dengan reksadana tetapi ada kesamaan. Ini kesamaan menurut saya:


Insentif pajak diperlukan supaya keuntungan DIRE tidak "tergerus" pajak sehingga lebih menguntungkan bagi investor. Inilah catatan insentif perpajakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 200/PMK.03/2015


PAJAK PENGHASILAN
Seperti yang dikutif oleh KOMPASMenteri Keuangan mengatakan:
untuk kepentingan PPh, maka KIK DIRE ini dianggap satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dengan perusahaan yang dbentuk. Dengan demikian, tidak ada pengenaan PPh atas deviden dari special purpose company kepada KIK DIRE. Kalau ada penjualan underline asset berupa tanah dan bangunan, kepada KIK DIRE atau sejenisnya lewat special purpose company maka tidak dikenai PPh final pasal 4 ayat (2) UU PPh
Dari sisi Pajak Penghasilan, insentif yang diberikan berupa pembebasan dividen dan pengenaan PPh atas penjualan harta real estat kepada KIK. 

Pembebasan dividen karena KIK dan perusahaan terbatas khusus DIRE dianggap satu kesatuan. Secara tertulis Peraturan Menteri Keuangan nomor 200/PMK.03/2015 menyebut bahwa perseroan terbatas dan KIK satu kesatuan. Artinya dianggap sebagai satu entitas. Karena satu entitas maka tidak ada isu dividen.

Jika SPC (special purpose company) atau KIK membeli tanah dan/atau bangunan maka transaksi ini dianggap bukan pengalihan hak yang dikenai PPh Final. Tetapi dikenai PPh umum.

Penjual tanah dan/atau bangunan, secara normal wajib membayar PPh Final sebesar 5% dari harga jual. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 200/PMK.03/2015 jika yang beli SPC atau KIK DIRE transaksi sejenis tidak dikenai PPh Final. Syaratnya si penjual menyampaikan secara tertulis pemberitahuan mengenai adanya pengalihan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar (Pasal 4 (4) PMK-200).

Dengan demikian, bagi KIK DIRE bahwa jual beli real estat itu seperti jual beli aktiva pada umumnya. Dikenai PPh dari capital gain jika ada.


PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Perlakuan PPN atas real estat tidak ada bedanya dengan lainnya. Insentif yang diberikan berupa "stempel" risiko rendah bagi KIK DIRE.

Untuk mendapatkan "stempel" risiko rendah, pengusaha kena pajak harus mengajukan permohonan ke kantor pajak. Permohonan harus dilampiri dengan kelengkapan dokumen sebagai berikut:

  • fotokopi surat pemberitahuan efektifnya pernyataan pendaftaran DIRE berbentuk KIK yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
  • keterangan dari Otoritas Jasa Keuangan bahwa Wajib Pajak merupakan SPC dalam skema KIK tertentu; dan
  • surat pernyataan bermeterai yang menyatakan bahwa SPC atau KIK dibentuk semata-mata untuk kepentingan DIRE berbentuk KIK.

Setelah mendapat pengukuhan sebagai PKP berisiko rendah, maka KIK atau SPC akan mendapatkan restitusi lebih cepat. Kelebihan bayar PPN akan direspon oleh kantor pajak melalui pengembalian pendahuluan. Bukan dengan pemeriksaan dan SKPLB.

Menurut Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan nomor 200/PMK.03/2015 pajak masukan yang dimintakan restitusi hanya yang berasal dari pembelian real estat.











Memaksimalkan Fasilitas PPN Tidak Dipungut atas Alat dan Jasa Angkutan Tertentu

Memaksimalkan Fasilitas PPN Tidak Dipungut atas Alat dan Jasa Angkutan Tertentu

Fasilitas PPN Tidak Dipungut atas Alat dan Jasa Angkutan Tertentu
gambar dari antaranews.com
Tahukah anda perbedaan PPN dibebaskan dan PPN tidak dipungut? Kedua istilah ini hampir sama. Kenyataannya sama-sama tidak memungut PPN walaupun PKP menerbitkan faktur pajak. Tetapi tidak memungutnya disebabkan oleh alasan yang berbeda. Bagi pengusaha, kebijakan yang paling menguntungkan adalah PPN tidak dipungut. Silakan dicermati! 


PPN dibebaskan itu artinya tidak ada pajak keluaran. Walaupun pengusaha menerbitkan faktur pajak, tetapi faktur pajak tersebut dibebaskan. Karena dibebaskan maka dianggap tidak ada. Ya, tidak ada PPN yang dipungut. 

Karena tidak ada faktur pajak keluaran, maka pengusaha yang menerbitkan faktur pajak "PPN Dibebaskan" tidak boleh mengkreditkan pajak masukan. Apa artinya? PPN yang dibayar pada saat perolehan barang atau jasa akan melekat ke harga pokok. Pengusaha akan menganggap pajak masukan sebagai biaya (PPN dibiayakan).

Sebaliknya, PPN tidak dipungut itu artinya ada pajak keluaran tetapi tidak dipungut. Pajak keluaran "dibiarkan" saja tidak dipungut oleh pengusaha. Praktisnya, pemerintah tidak mewajibkan memungut PPN tersebut. Pengusaha tetap menerbitkan faktur pajak.

Karena pajak keluaran ada, maka pada PPN tidak dipungut, pengusaha dapat mengkreditkan pajak masukan. Secara hitung-hitungan, PPN tidak dipungut akan berdampak seperti ekspor. Atas PPN yang sudah dibayar oleh pengusaha pada saat perolehan barang, pengusaha dapat meminta kembali kepada Negara melalui mekanisme restitusi.

PPN tidak dipungut boleh mengkreditkan pajak masukan secara tegas disebutkan di Pasal 4 Peraturan Pemerintah nomor 69 tahun 2015.

Jadi keuntungan pengusaha kena pajak dengan PPN tidak dipungut adalah bahwa atas barang atau jasa yang diserahkan benar-benar bersih PPN "seperti tidak dikenai pajak". Dengan demikian, harga barang yang dibayar konsumen seharusnya akan lebih murah.

Untuk memperoleh fasilitas PPN tidak dipungut, pengusaha harus mengajukan permohonan  Surat Keterangan Tidak Dipungut PPN (SKTD) ke kantor pajak dimana pengusaha terdaftar. SKTD ini ada dua jenis, yaitu: ada yang berlaku setiap kali transaksi, dan ada yang berlaku sampai dengan 31 Desember tahun diajukan permohonan. 

Secara lengkap syarat-syarat permohonan dan daftar BKP yang mendapat fasilitas ini dapat dilihat di bagian lampiran Peraturan Menteri Keuangan nomor 193/PMK.03/2015
contoh permohonan Surat Keterangan Tidak Dipungut PPN (SKTD)


Peraturan Menteri Keuangan nomor 193/PMK.03/2015 memberikan fasilitas lebih banyak dibandingkan saat PPN dibebaskan. Pengusaha yang dapat memanfaatkan fasilitas PPN tidak dipungut juga lebih banyak. 

Pihak yang mengajukan SKTD adalah importir dan penerima barang atau jasa. Jadi bukan penerbit faktur pajak. Tetapi jika penerbit faktur pajak menerima SKTD dari pembeli maka atas faktur pajak tersebut diberi cap "PPN TIDAK DIPUNGUT SESUAI PP NOMOR 69 TAHUN 2015"

Tulisan "PPN TIDAK DIPUNGUT SESUAI PP NOMOR 69 TAHUN 2015" dicap di faktur pajak dan PIB dengan menuliskan nomor dan tanggal SKTD.

Untuk memperoleh SKTD ini:

  • Wajib Pajak,
  • Kementerian Pertahanan,
  • Tentara Nasional Indonesia, dan
  • Kepolisian Negara Republik Indonesia

harus mengajukan permohonan SKTD kepada Direktur Jenderal Pajak c. q. KPP terdaftar dengan melampirkan rincian alat angkutan tertentu yang akan diimpor atau diperoleh.

Wajib Pajak yang dapat mengajukan permohonan SKTD:

  • Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha jasa angkutan laut dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia atau kapal asing atas dasar sewa untuk jangka waktu atau perjalanan tertentu ataupun berdasarkan perjanjian dan telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
  • Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional adalah badan hukum Indonesia atau badan usaha Indonesia yang menyelenggarakan kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, yang menggunakan kapal untuk kegiatan memuat dan mengangkut serta telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
  • Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhanan Nasional adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan Jasa yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh serta telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
  • Perusahaan Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional adalah badan hukum Indonesia atau badan usaha Indonesia yang menyelenggarakan usaha jasa pelayaran angkutan sungai, danau, dan penyeberangan dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia dan telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
  • Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran dan telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
  • Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum adalah badan hukum Indonesia yang mengusahakan sarana perkeretaapian umum berupa kendaraan yang dapat bergerak di jalan rel dan telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
  • Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian berupa jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api agar kereta api dapat dioperasikan dan telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.








#PajakMilikBersama


mulai 1 Januari 2016 Pajak Pertambahan Nilai rokok naik

mulai 1 Januari 2016 Pajak Pertambahan Nilai rokok naik

mulai 1 Januari 2016 PPN rokok naik
Rokok memang candu. Istilah untuk barang candu dalam teori ekonomi disebut inelastis. Maksudnya, orang tetap beli rokok walaupun harganya naik. Karena itu, pemerintah sering menaikkan cukai rokok. Nah, ditambah lagi mulai 1 Januari 2016 tarif efektif Pajak Pertambahan Nilai atas rokok menjadi 8,7% dari Harga Jual Eceran.



Tarif efektif itu pengenaan PPN berdasarkan nilai lain. Nilai lain bukanlah nilai transaksi sebenarnya. Untuk hasil tembakau, nilai lain itu HJE (harga jual eceran).

Harga Jual Eceran adalah harga yang ditetapkan sebagai dasar penghitungan besarnya cukai. HJE ini tertera dalam kemasan rokok.

Jadi, jika dalam kemasan rokok tertera harga jual eceran Rp.15.000 maka si pembeli rokok tersebut sudah membayar PPN sebesar: Rp.15.000,00 x 8,7% = Rp.1.305,00

Aturan baru ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 174/PMK.03/2015.

Tarif sebelumnya untuk rokok adalah 8,4% berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan nomor 62/KMK.03/2002.

PPN atas rokok ini tidak menggunakan mekanisme umum yang berjenjang atau banyak tingkatan. PPN atas rokok hanya satu tingkat dan dikenakan ditingkat produsen atau impor.

Jadi penyalur rokok, baik pedagang besar maupun pedagang eceran tidak memungut PPN. Bahkan mungkin mereka tidak tahu jika rokok dikenai PPN. Apalagi konsumen, makin tidak peduli.

Selama pita cukai yang dilekatkan di kemasan rokok "asli", maka PPN sudah pasti dibayar lunas. Kenapa? Karena PPN wajib dibayar bersama dengan pembayaran cukai. Produsen atau importir rokok membayar cukai dan PPN sebelum mendapatkan pita cukai.







Dasar pengenaan PPN Atas Penyerahan Produk Rekaman Suara dan Gambar

Dasar pengenaan PPN Atas Penyerahan Produk Rekaman Suara dan Gambar

gambar dari www.tomshw.it
Menteri Keuangan sudah mengembalikan dasar pengenaan PPN atas penyerahan produk rekaman suara dan gambar dari "nilai lain" menjadi nilai transaksi sebenarnya. Sejak tahun 1994, nilai lain penyerahan produk rekaman suara dan gambar adalah harga jual rata-rata. Dalam prakteknya, saat kita beli kaset, VCD, DVD, CD sudah melekar stiker "Lunas PPN". Nah, dasar pengenaan PPN tersebut adalah harga jual rata-rata.



Penyerahan produk rekaman suara dan gambar sejak 1 Juli 2015 dikenai PPN berdasarkan harga sebenarnya. Menteri Keuangan sudah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 121/PMK.03/2015 yang menghapus penyerahan rekaman suara atau gambar dari daftar nilai lain.

Karena dihapus dari daftar nilai lain, maka secara otomatis dasar pengenaan PPN kembali ke nilai jual secara umum.

Berikut daftar nilai lain DPP PPN sejak 1 Juli 2015 menurut  Peraturan Menteri Keuangan nomor 121/PMK.03/2015 :
a. untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor; 

b. untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor; 

c. dihapus; 

d. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film; 

e. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran; 

f. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/a tau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar; 

g. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antat cabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan; 

h. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli; 

i. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui JUru lelang adalah harga lelang; 

J. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau 

k. untuk penyerahan jasa biro perjalanan wisata dan/ atau Jasa agen perjalanan wisata berupa paket wisata, pemesanan sarana angkutan, dan pemesanan sarana akomodasi, yang penyerahannya tidak didasari pada pemberian komisi/imbalan atas penyerahan jasa perantara penjualan adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagiham atau jumlah yang seharusnya ditagih;

i. dihapus; 


m. untuk penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges) adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih.   





Penjualan Air Minum Dibebaskan dari Pemungutan PPN Kecuali Air Minum Dalam Kemasan

Penjualan Air Minum Dibebaskan dari Pemungutan PPN Kecuali Air Minum Dalam Kemasan

penyerahan air minum dibebaskan PPN kecuali pakai kemasan
gambar dari yukiberbagisehat.blogspot.com
Mulai 23 Juli 2015 semua penyerahan atau penjualan air minum dibebaskan dari pemungutan PPN, kecuali jika air minum tersebut dijual melalui kemasan. Ketentuan yang membebaskan air minum dari pemungutan PPN tersebut adalah Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 2015 tentang Penyerahan Air Bersih Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.



Istilah yang digunakan oleh PPN memang bukan air minum, tapi air bersih. Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 2015 membagi air bersih menjadi dua:
  • air bersih yang belum siap untuk diminum;
  • air bersih yang sudah siap untuk diminum (air minum).
Secara umum, Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 2015 membebaskan PPN atas penyerahan air bersih oleh pengusaha. Baik air bersih yang belum siap diminum atau air minum. Tetapi di Pasal 3 ayat (2) kemudian mengecualikan bahwa air minum dalam kemasan termasuk yang dibebaskan.

Hal ini berarti semua air minum yang belum siap untuk diminum atas penyerahannya dibebaskan dari pemungutan PPN. Tidak dipersyaratkan apakah penyerahan tersebut melalui pipa atau kemasan.

Di peraturan pemerintah sebelumnya sejak Peraturan Pemerintan nomor 12 Tahun 2001 sampai Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2007 disyaratkan "melalui pipa". Sejak dulu memang air bersih yang dialirkan melalui pipa dibebaskan.

Dalam prakteknya kemudian banyak perusahaan yang menjual air bersih melalui mobil tanki. Terutama di kota-kota besar yang menyuplai "air pegunungan" ke kios-kios air minum isi ulang. Penjualan air bersih ini tidak melalui pipa. Karena tidak melalui pipa maka tidak dibebaskan. Karena tidak dibebaskan maka pengusaha wajib pungut PPN.

Mulai sekarang, perusahaan penyuplai air bersih ke kios isi ulang tidak wajib memungut PPN.

Walaupun atas penyerahan air bersih tersebut dibebaskan dari memungut PPN, pengusaha tetap wajib membuat faktur pajak dan melaporkan fakturnya di SPT Masa PPN.

Pengusaha wajib membuat faktur pajak dengan diberi kode "080". Kemudian dilaporkan di bagian penyerahan yang dibebaskan.


Cek tulisan terbaru di aguspajak.com/blog




Perlakuan Perpajakan Atas Konsorsium

Perlakuan Perpajakan Atas Konsorsium

Perlakuan Perpajakan Atas Konsorsium
gambar dari LewatMana.com
Konsorsium bukan subjek pajak menurut Pajak Penghasilan. Tetapi subjek pajak badan menurut Pajak Pertambahan Nilai. Walaupun bukan subjek pajak, konsorsium wajib mendaftarkan diri dan memiliki NPWP karena terhadap konsorsium tetap ada kewajiban PPh atas pemotongan dan pemungutan (Potput) PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Juga Wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Konsorsium sering disebut Joint Operation (JO). Konsorsium atau JO merupakan operasi dua badan atau lebih yang sifatnya sementara hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek tersebut selesai dikerjakan.

Dari pengertian tersebut, dapat kita "cirikan" karakteristik konsorsium:
  1. kumpulan dua badan atau lebih,
  2. bersifat sementara dan didirikan tidak untuk selamanya,
  3. bertujuan untuk melaksanakan suatu proyek.
Kesementaraan konsorsium ditentukan oleh proyek. Artinya, konsorsium ada selama proyek sedang dikerjakan. Jika sudah selesai, maka konsorsium bubar. NPWP harus dihapus.


PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN
Kewajiban perpajakan konsorsium dari sisi Pajak Penghasilan bisa dibagi dua:
  • kewajiban PPh Badan, dan
  • kewajiban PPh Potput.  
Konsorsium bukan subjek pajak sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPb berbunyi:
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Sampai dengan saat ini, tidak ada peraturan baik tingkat menteri keuangan maupun direktur jenderal yang menyebut bahwa konsorsium atau JO bukan subjek pajak. Penyataan bahwa JO bukan subjek pajak hanya pada surat korespondensi antara Wajib Pajak dengan DJP. Dan surat yang sering menjadi rujukan adalah S-823/PJ.312/2002 tanggal 24 Oktober 2002.

Karena bukan subjek pajak maka konsorsium tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan dan membayar PPh Badan. Tentu saja tidak ada kewajiban PPh Pasal 25 atau PPh Pasal 29.

Konsekuensi dari bukan subjek pajak maka:
  • Penghasilan Bruto dikenakan di masing-masing anggota konsorsium (badan-badan yang berkumpul sebagai konsorsium).
  • Biaya-biaya dibebankan di masing-masing anggota konsorsium.
Intinya, konsorsium itu tidak memiliki penghasilan dan biaya.

Bagaimana jika konsorsium dipotong PPh oleh pihak pemberi penghasilan? Bukti potong konsorsium dapat dipecah dan didistribusikan ke masing-masing anggota konsorsium.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-44/PJ./1994 memberikan petunjuk pelaksaan pemecahan Bukti Potong yang diterima oleh konsorsium. Begini tahapannya:
  1. JO mengajukan permohonan pemecahan Bukti Potong ke KPP dimana JO terdaftar.
  2. KPP konfirmasi Bukti Potong ke KPP dimana pemotong terdaftar.
  3. KPP dimana JO terdaftar menerbitkan SKKPP dan dilakukan Pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.
  4. Pemindahbukuan tidak boleh dilakukan ke jenis pajak lain yang menjadi kewajiban JO
  5. KPP mengirimkan Bukti Pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.
  6. Anggota JO mengkreditkan Bukti Potong di SPT Tahunan PPh Badan.
Dengan demikian, mulai biaya-biaya yang timbul, penghasilan bruto yang diterima, dan kredit pajak (Bukti Potong) diperhitungkan di SPT Tahunan PPh Badan masing-masing anggota JO.

Dalam praktek, ada konsorsium yang memiliki kantor dan administrasi. Konsorsium jenis ini sering disebut administrative JO. Menurut Ruston Tambunan, administrative JO memiliki ciri-ciri:
  • kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO
  • Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing anggota JO
  • pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja,  biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of works) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.
Dalam hal konsorsium memiliki "manajemen" dan memiliki laporan keuangan maka seharusnya konsorsium memiliki kewajiban PPh Badan. Konsorsium seperti ini diperlakukan sebagai subjek pajak.
  
Kenapa harus diperlakukan sebagai subjek pajak? Karena:
  • memiliki penghasilan yang didistribusikan ke anggota konsorsium sesudah  dikurangkan dengan biaya. 
  • penghasilan yang diterima anggota konsorsium sudah neto.

Kenapa penghasilan bruto konsorsium yang bukan subjek pajak harus dibagi habis ke anggota? Karena Indonesia menganut classical system yaitu sistem pemisahan yang tegas antara entitas usaha di satu sisi dengan pemilik modal di sisi lain. Baik entitas usaha maupun pemilik modal masing-masing sebagai subjek pajak terpisah. Masing-masing memiliki kewajiban pelaporan SPT Tahunan. Masing-masing menghitung penghasilan neto.


KEWAJIBAN WITHHOLDING TAXES
Sekarang kita fokuskan konsorsium sebagai pemberi penghasilan. Contoh konsorsium sebagai pemberi penghasilan:
  • memberikan gaji ke buruh,
  • menyewa alat berat atau aktiva lain,
  • menyewa tanah dan/atau bangunan untuk kantor,
  • membayar jasa lainnya yang merupakan objek PPh Pasal 23, dan
  • membayar penghasilan ke subjek pajak Luar Negeri.
Kewajiban konsorsium dalam hal withholding taxes atau POTPUT sama saja dengan subjek pajak. Artinya, konsorsium wajib memotong PPh atas penghasilan yang diberikan kepada subjek pajak lain. PPh yang sudah dipotong tersebut kemudian disetorkan ke Kas Negara melalui bank persepsi. Kemudian konsorsium membuat bukti potong, SPT Masa PPh dan melaporkan ke KPP terdaftar.


KEWAJIBAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 secara tegas mengatakan bahwa Kerja Sama Operasi atau Joint Operation termasuk dalam pengertian badan dan wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pasal 3 ayat (2)  Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 berbunyi:
Bentuk kerja sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama bentuk kerja sama operasi.
Bagian penjelasan Pasal 3 ayat (2)  Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 memberikan contoh-contoh bagaimana perlakukan perpajakan untuk JO. Berikut kutipan
penjelasan Pasal 3 ayat (2) :
Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT ABC dan PT DEF membuat perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT ABC dan PT DEF membentuk joint operation.

Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek) diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek) dilakukan atas nama joint operation.

Berdasarkan hal di atas:
a.     joint operation wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b.     atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek), joint operation wajib menerbitkan Faktur Pajak;
c.     apabila dalam rangka joint operation tersebut, PT ABC atau PT DEF atas nama joint operation melakukan penyerahan langsung kepada pelanggan (pemilik proyek), maka penyerahan tersebut dianggap sebagai penyerahan dari PT ABC atau PT DEF kepada joint operation, sehingga PT ABC atau PT DEF harus membuat Faktur Pajak kepada joint operation dan joint operation membuat Faktur Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek).

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang tidak wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT X dan PT Y membuat perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT X dan PT Y membentuk joint operation.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya semua transaksi dan dokumentasi terkait dengan perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek) tersebut secara nyata hanya dilakukan atas nama PT X.

Karena joint operation secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak lain, maka dalam hal ini joint operation tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.




 


Jasa Perhotelan Yang Dikecualikan dan Tidak Dikecualikan Sebagai Objek PPN

Jasa Perhotelan Yang Dikecualikan dan Tidak Dikecualikan Sebagai Objek PPN

kriteria jasa perhotelan yang dikecualikan dan tidak dikecualikan sebagai objek PPN
Jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 4A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 4A ayat (3) huruf l Undang-Undang PPN menyebutkan bahwa jasa perhotelan dikecualikan sebagai objek PPN. Tetapi tidak semua jasa yang diberikan oleh hotel dikecualikan sebagai objek PPN. Ada beberapa jasa yang menurut peraturan menteri keuangan bukan jasa perhotelan yang dikecualikan.



Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 43/PMK.010/2015 tentang Kriteria Dan/Atau Rincian Jasa Perhotelan Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai mengatur sebagai berikut:

Jasa Perhotelan Yang Dikecualikan sebagai Objek PPN, terdiri dari:

  • jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan
  • jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
Tambahan jasa penyewaan kamar yaitu fasilitas penunjang yang terkait secara langsung dengan jasa penyewaan kamar, antara lain pelayanan kamar (room service), air conditioning, binatu (laundry and dry cleaning), kasur tambahan (extrabed), furnitur dan perlengkapan tetap (fixture), telepon, brankas (safety box), internet, televisi satelit/kabel, dan minibar.

Fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap merupakan fasilitas yang terkait secara langsung dengan kegiatan jasa penyewaan kamar dan semata-mata diperuntukkan bagi tamu yang menginap, antara lain fasilitas olah raga dan hiburan, fotokopi, teleks, faksimile, dan transportasi hotel (kendaraan antar-jemput) yang semata-mata untuk tamu yang menginap. "Semata-mata diperuntukkan bagi tamu yang menginap" biasanya berupa fasilitas gratis yang diberikan hotel. Cirinya hotel tidak memberikan tambahan biaya. Walaupun ciri ini tidak disebutkan dalam peraturan menteri keuangan. Karena jika setiap pengguna fasilitas boleh siapa saja dan dikenai biaya artinya terpisah dengan penginapan dan penyewaan kamar.

Jasa Perhotelah Yang Tidak Dikecualikan sebagai Objek PPN, terdiri dari:

  1. jasa penyewaan ruangan untuk selain kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel antara lain penyewaan ruangan untuk anjungan tunai mandiri (ATM), kantor, perbankan, restoran, tempat hiburan, karaoke, apotek, toko retail, dan klinik;
  2. jasa penyewaan unit dan/atau ruangan, termasuk tambahannya, di apartemen, kondominium, dan sejenisnya, serta fasilitas penunjang terkait lainnya; dan
  3. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh pengelola jasa perhotelan.
Menurut Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 43/PMK.010/2015, bahwa pengecualian jasa penyewaan unit dan/atau ruangan, termasuk tambahannya, di apartemen, kondominium, dan sejenisnya, serta fasilitas penunjang terkait lainnya dari kelompok jasa perhotelan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai, didasarkan atas izin usahanya





Badan Usaha Tertentu Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

Badan Usaha Tertentu Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

Telkomsel sebagai Badan Usaha tertentu pemungut PPN
Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 37/PMK.03/2015 tentang Penunjukan Badan Usaha Tertentu Untuk Memungut, Menyetor, Dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporannya. Peraturan menteri ini menambah daftar pemungut PPN. Dengan berlakukan peraturan menteri ini, maka pemungut PPN sekarang ada bendahara pemerintah, KKKS Migas dan Kontraktor atau Pegagang Kuasa Panas Bumi, BUMN, dan Badan Usaha Tertentu.

Peraturan Menteri Keuangan nomor 563/KMK.03/2003 telah menunjuk Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Peraturan Menteri Keuangan nomor 73/PMK.03/2010 menunjuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak Dan Gas  Bumi (KKKS Migas) dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan  Sumber Daya Panas Bumi untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Peraturan Menteri Keuangan nomor 85/PMK.03/2012 menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk memungut menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Terakhir, Peraturan Menteri Keuangan nomor 37/PMK.03/2015 tentang Penunjukan Badan Usaha Tertentu. Badan usaha tertentu yang ditunjuk sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yaitu:

  1. badan usaha milik negara yang dilakukan restrukturisasi oleh Pemerintah setelah berlakunya Peraturan Menteri ini, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui pengalihan saham milik negara kepada badan usaha milik negara lainnya;
  2. badan usaha yang bergerak di bidang pupuk, yang telah dilakukan restrukturisasi oleh Pemerintah yaitu PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, dan PT Pupuk Iskandar Muda;
  3. badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh badan usaha milik negara yaitu PT Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma Apotek, PT Badak Natural Gas Liquefaction, PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT Tambang Timah, PT Terminal Petikemas Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus, Bank Syariah Mandiri, Bank BRI Syariah, dan Bank BNI Syariah.


Kriteria Jasa Pendidikan Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai

Kriteria Jasa Pendidikan Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai

Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dibiayai dengan pajak
Seingat saya, ini merupakan peraturan menteri keuangan yang pertama yang mengatur batasan jasa pendidikan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Artinya dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 223/PMK.11/2014 maka ada jenis jasa pendidikan yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Berikut ini adalah copypaste isi dari peraturan menteri keuangan yang dimaksud.




Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Jenis-jenis jasa pendidikan dibagi menjadi tiga:
  1. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
  2. Pendidikan Nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
  3. Pendidikan Informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

Kelompok jasa Pendidikan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai meliputi:
  1. jasa Penyelenggaraan Pendidikan Formal, meliputi jasa Penyelenggaraan Pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
  2. Jasa Penyelenggaraan Pendidikan Nonformal, meliputi jasa Penyelenggaraan Pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, dan pendidikan kesetaraan.
  3. Jasa Penyelenggaraan Pendidikan Informal, meliputi jasa penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Tidak termasuk jasa pendidikan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai yaitu sebagai berikut:
  1. jasa penyelenggaraan pendidikan, baik pendidikan formal, pendidikan nonformal, maupun pendidikan informal, yang tidak termasuk dalam rincian jasa penyelenggaraan pendidikan diatas,
  2. jasa penyelenggaraan pendidikan formal atau jasa penyelenggaraan pendidikan nonformal yang diserahkan satuan pendidikan yang tidak mendapatkan izin pendidikan dari instansi Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang berwenang, atau
  3. jasa pendidikan yang menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan penyerahan barang dan/atau jasa lainnya.
Catatan:
Tidak termasuk yang tidak dikenai artinya jasa pendidikan tersebut menjadi objek PPN. Secara mudah, batasanya bisa dilihat pertama dari batasan terakhir, yaitu "yang tidak terpisahkan dengan barang". Ini biasanya pelatihan terkait dengan penjualan barang. Misalnya training atas penjualan software, pelatihan menggunakan kendaraan berat atau peralatan tertentu.

Syarat diatas adalah alternatif. Artinya jika salah satu syarat "tidak termasuk yang tidak dikenai" masuk pada jasa yang kita selenggarakan maka itu merupakan objek PPN. Misalnya penyelenggaraan pendidikan kita tidak mendapat ijin dari pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.  


Juklak Pengenaan PPN Dan PPnBM Atas Penyerahan BKP Yang Tergolong Mewah Berupa Hunian Mewah

Juklak Pengenaan PPN Dan PPnBM Atas Penyerahan BKP Yang Tergolong Mewah Berupa Hunian Mewah

Hunian Mewah dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau PPnBM
Bahwa dalam rangka memberikan keseragaman pemahaman dan pelaksanaan atas peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang terkait dengan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (selanjutnya disingkat PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (selanjutnya disingkat PPnBM) atas penyerahan hunian mewah di seluruh unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, dipandang perlu untuk menegaskan peraturan mengenai hal tersebut. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran nomor SE-45/PJ/2014 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Berupa Hunian Mewah


Surat edaran ini menjadi acuan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang terkait dengan pengenaan PPN dan PPnBM atas penyerahan hunian mewah yang dilaksanakan sejak 10 Juni 2009 yaitu mulai berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.03/2009 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah mengubah batasan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah berupa hunian mewah.

Hunian mewah yang merupakan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah:

  • Rumah dan town house dari jenis non-strata title dengan luas bangunan 350 m2 atau lebih yang diserahkan sejak tanggal 10 Juni 2009.
  • Apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title, dan sejenisnya dengan luas bangunan 150 m 2 atau lebih, yang diserahkan sejak tanggal 10 Juni 2009. 
Luas bangunan hunian mewah digunakan sebagai dasar untuk menentukan batasan suatu hunian (rumah, town house, apartemen, kondominium, dan sejenisnya) tergolong sebagai Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Pembedaan penggolongan hunian mewah antara rumah atau town house dari jenis non-strata title dengan apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title dilakukan mengingat perbedaan karakteristik hunian-hunian mewah dimaksud.

Untuk mengetahui luas bangunan hunian mewah, terdapat beberapa jenis dokumen yang menunjukkan luas bangunan yang sesungguhnya, antara lain:

  • gambar rancang bangun (site plan);
  • Izin Mendirikan Bangunan (IMB);
  • kuitansi booking-fee;
  • surat pemesanan rumah/apartemen (atau dokumen sejenisnya);
  • Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB);
  • Akta Jual Beli;
  • berita acara serah terima bangunan/rumah/apartemen (berita acara serah terima kunci);
  • Sertifikat; dan/atau
  • Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB).
Dokumen selain yang telah disebutkan di atas dapat dipergunakan sebagai pedoman  atau patokan dalam menentukan luas bangunan hunian mewah sepanjang memberikan informasi yang akurat atas luas bangunan hunian mewah tersebut.

Dalam hal terjadi perbedaan luas bangunan sesuai dokumen-dokumen yang dijadikan pedoman dalam menentukan luas bangunan hunian mewah, dokumen yang dijadikan dasar penentuan obyek PPnBM adalah dokumen yang menunjukkan luas bangunan yang paling luas sepanjang dokumen tersebut dapat memberikan informasi yang akurat atas luas bangunan hunian mewah tersebut.

Dasar Pengenaan Pajak adalah sebesar Harga Jual. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk PPN dan potongan harga yang tercantum dalam faktur pajak.

Harga Jual sebagai Dasar Pengenaan Pajak dapat diketahui berdasarkan dokumen dokumen transaksi jual beli hunian mewah tersebut. Dokumen-dokumen yang dapat dijadikan dasar penentuan Harga Jual antara lain:

  • bukti-bukti pembayaran uang muka;
  • surat pemesanan rumah/apartemen (atau dokumen sejenisnya);
  • Perjanjian Perikatan Jual Beli; dan/atau
  • Akta Jual Beli
Dokumen selain yang telah disebutkan di atas dapat dipergunakan sebagai pedoman  atau patokan dalam menentukan Dasar Pengenaan Pajak sepanjang memberikan informasi yang akurat atas Harga Jual hunian mewah tersebut.

Dalam hal terjadi perbedaan Harga Jual sesuai dokumen-dokumen yang dijadikan pedoman dalam menentukan Dasar Pengenaan Pajak hunian mewah, dokumen yang dijadikan dasar adalah dokumen yang menunjukkan Harga Jual yang paling tinggi sepanjang dokumen tersebut dapat memberikan informasi yang akurat atas Harga Jual hunian mewah tersebut.

Pembayaran-pembayaran yang diterima oleh pengembang dari pembeli, seperti biaya pengurusan Akta Jual Beli, kredit bank, pemasangan instalasi listrik dan air, dan lain-lain, pada dasarnya, bukanlah biaya pembentuk Harga Jual hunian mewah. Namun demikian, apabila diketahui, berdasarkan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud di atas, biaya-biaya tersebut digabungkan dengan harga penjualan hunian mewah, biaya-biaya tersebut menjadi bagian dari Harga Jual hunian mewah.

Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa hunian mewah dikenai PPN sebesar 10% (sepuluh persen) dan PPnBM sebesar 20% (dua puluh persen).



Saat terutang pajak (mana yang lebih dulu):
  • saat surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas hunian mewah tersebut ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan; atau
  • saat pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa hunian mewah.


Catatan:
Pada umumnya, pembayaran lebih dahulu dan penyerahan belakangan. Masih banyak pengembang yang hanya jualan "gambar". Rumah atau town house dibuat setelah ada pembayaran, baik dari berupa uang muka dari konsumen langsung maupun pembayaran KPR dari bank.

Menurut saya, SE-45/PJ/2014 ini sudah selaras dengan SE-30/PJ/2013 bahwa dasar pengenaan pajaka dalah keadaan sebenarnya.

Saya kutip bagian E angka 1 huruf b dari SE-30/PJ/2013 dimaksud:
Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak atas tanah dan/atau bangunan dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan pada saat ditandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh pejabat yang berwenang.
Jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang tertuang dalam Akta Pengalihan Hak adalah jumlah bruto nilai pengalihan yang sebenarnya sesuai dengan kejadian, status dan data yang benar serta didukung dengan dokumen sesuai peraturan perundang-undangan.
Dalam hal diketahui berdasarkan data atau kejadian sebenarnya, jumlah bruto nilai pengalihan menurut akta pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maupun Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan lebih rendah dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang sebenarnya, maka besarnya Pajak Penghasilan dihitung dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang sebenarnya.






Iklan