Tampilkan postingan dengan label Pajak Masukan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pajak Masukan. Tampilkan semua postingan
Badan Usaha Tertentu Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

Badan Usaha Tertentu Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

Telkomsel sebagai Badan Usaha tertentu pemungut PPN
Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 37/PMK.03/2015 tentang Penunjukan Badan Usaha Tertentu Untuk Memungut, Menyetor, Dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporannya. Peraturan menteri ini menambah daftar pemungut PPN. Dengan berlakukan peraturan menteri ini, maka pemungut PPN sekarang ada bendahara pemerintah, KKKS Migas dan Kontraktor atau Pegagang Kuasa Panas Bumi, BUMN, dan Badan Usaha Tertentu.

Peraturan Menteri Keuangan nomor 563/KMK.03/2003 telah menunjuk Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Peraturan Menteri Keuangan nomor 73/PMK.03/2010 menunjuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak Dan Gas  Bumi (KKKS Migas) dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan  Sumber Daya Panas Bumi untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Peraturan Menteri Keuangan nomor 85/PMK.03/2012 menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk memungut menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Terakhir, Peraturan Menteri Keuangan nomor 37/PMK.03/2015 tentang Penunjukan Badan Usaha Tertentu. Badan usaha tertentu yang ditunjuk sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yaitu:

  1. badan usaha milik negara yang dilakukan restrukturisasi oleh Pemerintah setelah berlakunya Peraturan Menteri ini, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui pengalihan saham milik negara kepada badan usaha milik negara lainnya;
  2. badan usaha yang bergerak di bidang pupuk, yang telah dilakukan restrukturisasi oleh Pemerintah yaitu PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, dan PT Pupuk Iskandar Muda;
  3. badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh badan usaha milik negara yaitu PT Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma Apotek, PT Badak Natural Gas Liquefaction, PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT Tambang Timah, PT Terminal Petikemas Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus, Bank Syariah Mandiri, Bank BRI Syariah, dan Bank BNI Syariah.


Pengenaan PPN Atas Barang Hasil Pertanian Dari Kegiatan Usaha Di Bidang Pertanian, Perkebunan, Dan Kehutanan

Pengenaan PPN Atas Barang Hasil Pertanian Dari Kegiatan Usaha Di Bidang Pertanian, Perkebunan, Dan Kehutanan

Pengenaan PPPN Atas Barang Hasil Pertanian Dari Kegiatan Usaha Di Bidang Pertanian, Perkebunan, Dan Kehutanan

Setelah keputusan Mahkaman Agung nomor 70P/HUM/2013 banyak pengusaha yang terkaget-kaget dengan implikasi putusan tersebut. Sebelumpun produk pertanian termasuk Barang Kena Pajak (BKP) strategis yang di bebaskan. Dengan dibebaskannya produk pertanian, maka pengusaha tidak ada kewajiban untuk memungut PPN. 

Dasar pembebasan produk pertanian adalah Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2007. Peraturan Pemerintah ini mengatur:
Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah :
  • barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang;
  • makanan ternak, unggas, dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas dan ikan;
  • barang hasil pertanian;
  • bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran atau perikanan;
  • air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum;
  • listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 (enam ribu enam ratus) watt; dan
  • Rumah Susun Sederhana Milik (RUSUNAMI).
Frasa "barang hasil pertanian" kemudian digugat oleh Kadin. KADIN sebagai pemohon diwakili oleh Suryo B. Sulistio dan Hariyadi Sukamdani. Secara khusus, KADIN meminta Mahkamah Agung untuk mencoret frase "barang hasil pertanian" sebagai BKP strategis.

Konon kabarnya, pihak yang mendorong gugatan ini adalah para pengusaha kelapa sawit. Sebelumnya, pajak masukan untuk kebun tidak dapat dikreditkan. Perlakuan perpajakan ini berdasarkan asas equal treatment antara pengusaha yang HANYA memiliki kebun dengan pengusaha yang memiliki kebun dan pabrik.

Para pemilik kebun tidak dapat mengkreditkan pajak masukan. Kenapa? Karena produk dari kebun TBS merupakan BKP strategis. Karena TBS merupakan BKP strategis berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2007, maka supaya bisa dikreditkan para pengusaha menggugat peraturan. Tujuannya agara pajak masukan atas pembelian pupuk dan peralatan perkebunan sawit bisa dikreditkan.

Argumen yang disodorkan adalah daya saing. KADIN berargumen bahwa penetapan "barang hasil pertanian" sebagai BKP strategis melemahkan daya saing karena tidak dapat mengkreditkan pajak masukan. 

Menurut Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2007, barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan.  Dengan dikabulkannya barang hasil pertanian sebagai BUKAN BKP strategis, maka semua barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan menjadi BKP.

Apakah beras dan sayuran menjadi BKP? Menurut Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN bahwa barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak bukan BKP atau sering disebut non-BKP.

Bagian penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN merinci barang bukan BKP:
  • beras;
  • gabah;
  • jagung;
  • sagu;
  • kedelai;
  • garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
  • daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
  • telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
  • susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
  • buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
  • sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.  
Selain yang disebutkan diatas, maka produk yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan merupakan BKP.

Secara lengkap dapat dilihat di bagian lampiran SE-24/PJ/2014. Untuk mendapatkan slide SE-24/PJ/2014 yang sudah dikonversi ke pdf dapat diunduh di drive saya. 

Putusan Mahkamah Agung ini seharusnya diikuti dengan penerbitan Peraturan Pemerintah yang baru yang mencabut Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2007. Tetapi karena kendala waktu untuk membuat peraturan pemerintah (konon kabarnya begitu) maka Direktorat Jenderal Pajak memilih diam. 

Apa konsekuensi pilihan tersebut? Putusan tersebut berlaku 90 hari kemudian setelah dikirim oleh Mahkamah Agung. 

Dasarnya Pasal 8 ayat 2 Peraturan MA Nomor 01 Tahun 2011:
Dalam hal 90 hari setelah putusan MA tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan tersebut, ternyata Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Jadi, sejak 22 Juli 2014 Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2007 menjadi tidak berlaku. Putusan ini tidak berlaku surut. Artinya, terhadap transaksi tanggal 21 Juli 2014 dan sebelumnya barang hasil pertanian tetap merupakan BKP Strategis.



Iklan