Tampilkan postingan dengan label PTKP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PTKP. Tampilkan semua postingan
penghasilan Rp.121.500.000 di tahun 2016 bebas pajak penghasilan

penghasilan Rp.121.500.000 di tahun 2016 bebas pajak penghasilan

Selama dua tahun berturut-turut, pemerintah telah menaikkan PTKP. Kenaikkan ini dalam rangka menjaga pertumbuhan ekonomi. Mengutif pendapat seorang teman, Sunarsip, salah satu instrumen yang dapat dipakai untuk meningkatkan pertumbuhan sisi konsumsi rumah tangga adalah melalui pengurangan pajak. Salah satu caranya adalah, dengan menaikkan penghasilan yang tidak kena pajak (PTKP). Tahun 2016 ini, untuk penghasilan suami dan istri yang digabung dan memiliki tiga orang tanggungan (status K/I/3) akan mendapatkan PTKP sebesar Rp. 121.500.000,00. Artinya, Wajib Pajak tersebut tidak bayar pajak kecuali penghasilan diatas Rp. 121.500.000,00.
Sepuluh tahun yang lalu, pemerintah juga menaikkan PTKP dua tahun berturut-turut, 2005 dan 2006. Kenaikan PTKP ini tentu menguntungkan Wajib Pajak dan dari sisi pemerintah bisa dianggap kerugian karena sejumlah potensi pajak yang tidak dapat diperoleh. Kabarnya, potential loss yang dihitung di tahun 2016 sekitar 18 triliun rupiah.

Kenaikan PTKP yang berlaku di tahun 2016 dituangkan dapat Peraturan Menteri Keuangan nomor 101/PMK.10/2016 tanggal 22 Juni 2016. Peraturan ini mengatur besarnya penghasilan tidak kena pajak menjadi:

  1. Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
  2. Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
  3. Rp54.000.000,00 ((lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 TAHUN 2008;
  4. Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

Dari peraturan tersebut, kita bisa buat tabel status PTKP sebagai berikut:
raden agus suparman: PTKP 2016

Dengan kenaikan ini, sejak 1984 besaran PTKP yang berstatus TK/0 telah mengalami kenaikan lebih dari 56 kali. Tepatnya 5625%, yaitu dari Rp.960.000,00 menjadi Rp.54.000.000,00

Ini tabel lengkap sejarah PTKP berdasarkan UU PPh 1984:
raden agus suparman: sejarah besaran PTKP sejak 1984 sampai dengan 2016
klik gambar biar lebih jelas

 
Batas Penghasilan Pegawai Harian
Seiring dengan kenaikan PTKP 2016, maka batas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh pegawai harian dan mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya juga naik. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 102/PMK.10/2016 tanggal 22 Juni 2016 batas dimaksud menjadi Rp.450.000,00 per hari.

Artinya, jika pegawai harian dibayar per hari Rp.450.000,00 maka tidak dikenai pajak. Tidak dipotong oleh pemberi kerja. Kecuali jika gaji atau upah tersebut dibayar bulanan dan sudah melewati Rp.4.500.000,00.


Penyesuaian PTKP 2015 berakibat pajak yang dipotong lebih kecil

Penyesuaian PTKP 2015 berakibat pajak yang dipotong lebih kecil

Para Pembayar Pajak adalah pahlawan masa kini, termasuk pegawai yang dipotong PPh Pasal 21
Tahun 2015 ini pemerintah telah memberikan "fasilitas" perpajakan berupa penyesuaian penghasilan tidak kena pajak. Sebenarnya bukan fasilitas mungkin lebih tepat penyesuaian dengan inflasi atau kenaikan gaji. Tetapi penyesuaian ini berdampak pada menurunnya PPh Pasal 21 yang wajib dipotong oleh perusahaan atau pemberi kerja. Karena PPh Pasal 21 menurun, maka otomatis penghasilan tunai yang dibawa oleh karyawan (take home pay) menjadi lebih besar. Itulal kenapa saya sebut "fasilitas".




Melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 122/PMK.010/2015 pemerintah telah melakukan penyesuaian penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Ini merupakan perubahan kedua sejak berlakunya perubahan keempat UU PPh tahun 2008. Tahun 2012 dilakukan penyesuaian dari Rp.15.840.000,00 menjadi Rp.24.300.000,00. Dan tahun 2015 ini disesuaikan lagi menjadi Rp.36.000.000,00.

Inilah tabel PTKP tahun 2015
Tabel PTKP tahun 2015 dan 2012


Peraturan Menteri Keuangan nomor 122/PMK.010/2015 menyebutkan:
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku pada Tahun Pajak 2015 
Berbeda dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 162/PMK.011/2012 yang menyebut bahwa penyesuaian berlaku sejak 1 Januari 2013, peraturan menteri keuangan yang baru hanya menyebut tahun pajak 2015. Hal ini membuat banyak pertanyaan, apakah berlaku surut atau berlaku 29 Juni 2015?

Jika kita memperhatikan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan nomor 122/PMK.010/2015 maka jelas bahwa berlaku sejak 29 Juni 2015 karena diundangkan pada tanggal tersebut. 

Menurut saya, klausul yang dipakai di Peraturan Menteri Keuangan nomor 122/PMK.010/2015 memiliki konsekuensi berikut:

  • Gaji atau Upah yang sudah dipotong PPh Pasal 21 yang sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan nomor 122/PMK.010/2015 tidak perlu disesuaikan.
  • Gaji atau Upah yang dipotong sejak berlakukan Peraturan Menteri Keuangan nomor 122/PMK.010/2015 harus mengikuti ketentuan yang berlaku.
Jadi, upah tukang yang sudah dipotong tetap seperti bukti potong yang ada. Atau pembayaran PPh bagi yang bukan pegawai tidak perlu disesuikan jika memang sudah dipotong. Atau pegawai yang berhenti sebelum berlakunya peraturan ini.

Tetapi untuk pegawai yang berkesinambungan sampai dengan akhir tahun, maka harus ada penyesuaian.

Logika saya adalah karena PPh itu terutang pada akhir tahun. Sedangkan PPh Pasal 21 sebenarnya adalah cicilan PPh bagi pegawai tersebut.

PPh Pasal 21 selalu didesain bahwa kewajiban pembayaran PPh dilakukan oleh pemberi kerja. Artinya pada akhir tahun, pemberi kerja harus menghitung ulang dengan PTKP tahun 2015 diatas. PPh terutang untuk Wajib Pajak Orang Pribadi tahun pajak 2015 wajib menggunakan Peraturan Menteri Keuangan nomor 122/PMK.010/2015.

Akibat dari penyesuaian oleh Peraturan Menteri Keuangan nomor 122/PMK.010/2015 maka pemberi kerja harus menghitung ulang dari Januari 2015. Tentu akan ada kelebihan pajak yang dipotong.

Nah, kelebihan pajak yang dipotong tersebut tidak direstitusi tetapi diperhitungkan dengan pajak terutang bulan-bulan berikutnya sampai dengan Desember 2015. Logikanya, bulan Agustus 2015 dan seterusnya, pegawai berkurang dipotong PPh Pasal 21 atau tidak ada sama sekali karena sudah ada "simpanan" awal tahun.

Jika sampai dengan Desember 2015 tetap lebih potong? Kelebihan ini dikembalikan dengan restitusi. Tetapi pihak yang meminta restitusi bukan pemberi kerja. Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki penghasilan yang berhak meminta restitusi.

Bukankah setiap Wajib Pajak Orang Pribadi wajib menghitung dan melaporkan SPT Tahunan? Nah, pada saat pembuatan SPT tahunan tersebut, dia menghitung ulang PPh terutang.

Jika memang menurut perhitungan tersebut ternyata lebih bayar, maka kelebihan tersebut dapat dimintakan resitusi. Itu hak Wajib Pajak.

Tetapi jika "simpanan" PPh Pasal 21 tersebut sudah habis, maka pemberi kerja baru memotong kekurangan PPh terutang atas nama pegawai. Dan menyetor ke Kas Negara.






Iklan