Tampilkan postingan dengan label PPh Pasal 22. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PPh Pasal 22. Tampilkan semua postingan
Ruko dan Rukan termasuk objek PPh Pasal 22 atau tidak?

Ruko dan Rukan termasuk objek PPh Pasal 22 atau tidak?

contoh iklan jual rumah seharga 100 milyar rupiah di Jakarta Selatan
Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015 mengatur kewajiban pemungutan PPh Pasal 22 dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah, diantaranya "apartemen, kondominium, dan sejenisnya". Peraturan ini tidak merinci "dan sejenisnya" yang menjadi objek PPh Pasal 22.

Karena itu timbul pertanyaan, apakah rumah toko (ruko), rumah kantor (rukan), kondominium hotel (kondotel) termasuk "dan sejenisnya"?


Untuk menjawab pertanyaan ini saya baca latar belakang peraturan ini. Latar belakang yang saya maksud ada di bagian menimbang. Ini kutipannya:
pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak atas penghasilan yang digunakan untuk konsumsi barang yang tergolong sangat mewah
Dari bagian menimbang itu saya menemukan kata "konsumsi". Istilah konsumsi saya baca di wiki:
Konsumsi, dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung 
Dari pengertian diatas, saya memiliki dua kriteria:

  • memenuhi kebutuhan, dan
  • memenuhi kepuasan.

Kebutuhan untuk barang orang kaya tentu bukan kebutuhan pokok. Barang yang dimaksud tergolong sangat mewah. Jadi, menurut saya kebutuhan dalam hal ini adalah "tempat tinggal" dan kendaraan.

Untuk jenis "tempat tinggal" bisa kita baca yang tertulis di Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015, yaitu:

  • rumah
  • apartemen
  • kondominium




    Sedangkan jenis kendaraan bisa kita baca yang tertulis di Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015, yaitu:

    • pesawat terbang pribadi, 
    • helikopter pribadi,
    • kapal pesiar, 
    • yacht,
    • sedan, 
    • jeep, 
    • sport utility vehicle (suv), 
    • multi purpose vehicle (mpv), 
    • minibus,
    • kendaraan bermotor roda dua dan tiga

    Sedangkan kriteria kedua adalah kriteria kepuasan. Pemuasan pribadi pembeli supaya tempat tinggal dan kendaraan yang dimiliki "sekelas" dengan penghasilannya. Pamer!

    Maksudnya, bahwa tempat tinggal dan kendaraan mereka kelasnya sudah sangat mewah. Nah sangat mewah inilah yang diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015.

    KESIMPULAN
    Kembali ke pertanyaan, apakah rumah toko dan rumah kantor termasuk objek PPh Pasal 22 yang dimaksud Peraturan Menteri Keuangan nomor 90/PMK.03/2015?

    Menurut saya bukan. Alasannya:
    • tujuan pembuatan rumah toko dan rumah kantor adalah untuk usaha sehingga tidak termasuk pengertian "rumah tinggal" walaupun bisa saja dia tinggal di ruko atau rukan.  
    Bagaimana jika rumah atau apartemen digunakan untuk usaha? Misalnya disewakan? Atau rumah yang dijadikan kantor? Atau rumah yang bagian depannya ada toko? Tetap menjadi objek karena pada dasarnya rumah dan apartemen dimaksud untuk tempat tinggal. Hanya saja penggunaannya yang "menyimpang".


    DEFINISI:
    Ruko (singkatan dari rumah toko) adalah sebutan bagi bangunan-bangunan di Indonesia yang umumnya bertingkat antara dua hingga lima lantai, di mana lantai-lantai bawahnya digunakan sebagai tempat berusaha ataupun semacam kantor sementara lantai atas dimanfaatkan sebagai tempat tinggal.

    FUNGI:
    fungsi utama dari kantor dan rumah sangatlah bertolak belakang sehingga Anda harus mengatur dan mendesainnya sedemikian rupa sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara satu dan lainnya. 

    Rumah, ibaratnya istana. Kehangatan, keakraban, kepedulian, kebersamaan, dan kebutuhan untuk istirahat sangat dominan di rumah. Sedangkan kantor penuh dengan deadline, pusat dari segala produktivitas yang Anda miliki juga merupakan icon dari profesionalisme Anda sebagai pekerja.


    Cek tulisan terbaru di aguspajak.com/blog







    Perubahan Pemungut PPh Pasal 22 Tahun 2015

    Perubahan Pemungut PPh Pasal 22 Tahun 2015

    Perubahan Pemungut PPh Pasal 22 tahun 2015
    Menteri Keuangan semakin melebarkan sayap dalam rangka pemungutan PPh Pasal 22. Sayap yang dimaksud adalah menetapkan "badan-badan tertentu" yang memungut PPh Pasal 22 atas kegiatan impor atau melakukan transaksi atau kegiatan usaha.

    Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UU PPh bahwa pemungut PPh Pasal 22 itu terdiri dari : bendahara, badan-badan tertentu yang memungut PPh Pasal 22, dan badan-badan tertentu yang memungut PPh Pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
    Golongan ketiga, Menteri Keuangan sudah terlebih dahulu menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2015.  Posting terkait peraturan ini dapat dilihat di postingan tanggal 26 Mei 2015.

    Perubahan golongan ketiga menyusul dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.010/2015. Kalau kita perhatikan, walaupun sama-sama terkait PPh Pasal 22 tetapi kode nomenklatur pembuat (pengusul) peraturan berbeda, yaitu 03 dari DJP sedangkan 010 dari BKF.

    Karena pemungut PPh Pasal 22 makin banyak, maka penggolongan saya kembalikan ke Pasal 22 ayat (1) huruf a dan b UU PPh, yaitu:
    • bendahara, 
    • badan-badan tertentu.
    Menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.010/2015, bendahara wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari pembelian, yaitu:
    1. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
    2. bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
    3. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);

    Sedangkan badan-badan tertentu menurut penjelasan Pasal 22 ayat (1) UU PPh bisa badan pemerintah atau swasta. Badan pemerintah yang ditugaskan untuk memungut adalah Direktoran Jenderal Bea dan Cukai atau impor dan ekspor barang-barang tertentu yang ditentukan dalam Lampiran Peraturan Menteri nomor 107/PMK.010/2015. Jenis barangnya banyak banget. Bukang untuk dihapalkan.

    Kemudian badan-badan tertentu dari golongan BUMNBadan usaha tertentu berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari pembelian.

    Badan tertentu dari golongan BUMN yang saya maksud, menurut bahasa peraturannya:

    1. Badan Usaha Milik Negara, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan;
    2. Badan Usaha Milik Negara yang dilakukan restrukturisasi oleh Pemerintah setelah berlakunya Peraturan Menteri ini, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui pengalihan saham milik negara kepada Badan Usaha Milik Negara lainnya; dan
    3. badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara, meliputi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma Apotek, PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT Badak Natural Gas Liquefaction, PT Tambang Timah, PT Petikemas Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus, PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank BRI Syariah, dan PT Bank BNI Syariah,

    Golongan terakhir dari badan-badan tertentu adalah perusahaan swasta. Perusahaan swasta yang ditetapkan sebagai pemungut PPh Pasal 22 dibagi dua:
    • perusahaan yang memungut PPh Pasal 22 saat penjualan,
    • perusahaan yang memungut PPh Pasal 22 saat pembelian.
    Perusahaan swasta yang wajib memungut PPh Pasal 22 saat penjualan adalah:

    1. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri;
    2. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
    3. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
    4. Badan usaha yang memproduksi emas batangan, atas penjualan emas batangan di dalam negeri.
    Perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi memungut PPh Pasal 22 sebesar:
    • 0,25% dari penjualan semua jenis semen;
    • 0,1% dari penjualan kertas
    • 0,3% dari penjualan baja;
    • 0,45% dari penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih;
    • 0,3% penjualan semua jenis obat. 
    Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,45%  atas penjualan kendaraan bermotor.

    Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar:
    • 0,25% dari penjualan bahan bakar minyak untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakan umum Pertamina,
    • 0,3% dari penjualan bahan bakar minyak untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum bukan Pertamina,
    • 0,3% dari penjualan bahan bakar minyak untuk penjualan kepada pihak selain diatas (bukan ke SPBU),
    • 0,3% dari penjualan bahan bakar gas dan pelumas.
    Badan usaha yang memproduksi emas batangan wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,45% dari harga jual emas batangan.


    Sedangkan perusahaan swasta yang wajib memungut PPh Pasal 22 saat pembelian yaitu:
    1. Industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industrinya atau ekspornya;
    2. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan;

    Perusahaan sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,25% atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir.

    Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari harga beli dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan.


    Milik siapa PPh Pasal 22?
    PPh Pasal 22 pada dasarnya adalah cicilan PPh pada tahun berjalan. Artinya pada akhir tahun, cicilan ini akan diperhitungkan sebagai kredit pajak PPh badan atau PPh orang pribadi.

    PPh Pasal 22 yang dikreditkan di SPT Tahunan ada dua bentuk:
    • Surat Setoran Pajak (SSP),
    • Bukti Pungut.

    PPh Pasal 22 yang berbentuk SSP artinya PPh Pasal 22 tersebut  dibayar langsung ke bank persepsi oleh wajib pajak yang bersangkutan pada saat transaksi. Transaksi yang wajib dibayar langsung oleh yang bersangkutan (artinya di SSP ditulis NPWP yang dapat mengkreditkan) adalah transaksi yang terkait dengan impor dan bendahara.

    Sedangkan selain impor oleh DJBC dan pembelian oleh bendahara, maka BUMN dan badan-badan tertentu dari swasta sebagai pemungut PPh Pasal 22. Dia wajib memungut PPh Pasal 22 orang lain dan wajib membuat Bukti Pungut.

    Kewajiban membuat Bukti Pungut tertulis dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri nomor 107/PMK.010/2015.

    Pemungut PPh Pasal 22 selain wajib membuat Bukti Pungut juga wajib menyetor PPh yang dipungut dengan kode pajak 411122-900 ke bank persepsi, kemudian melaporkan ke KPP terdaftar dalam SPT Masa PPh Pasal 22.

    Sedangkan pihak yang terpungut mendapat Bukti Pungut dan dapat dikreditkan pada akhir tahun di SPT Tahunan.

    Dari transaksi diatas, ada pengenaan PPh yang bersifat final yaitu penjualan bahan bakan minyak dan bahan bakar gas ke agen atau penyalur. Artinya, jika wajib pajak "semata-mata" hanya usaha tersebut, maka kewajiban PPh-nya tinggal pelaporan SPT Tahunan yang dilampiri Bukti Potong.




    Pemungutan Pajak Penghasilan Penjualan Barang Sangat Mewah

    Pajak Penghasilan atas Penjualan Barang Sangat Mewah
    gambar diambil dari refinedguy.com
    Pemungutan Pajak Penghasilan diamanatkan oleh Pasal 22 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPh. Ketentuan ini berbunyi, "Menteri Keuangan dapat menetapkan Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah." Berdasarkan amanat ini kemudian menteri keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2015. Berikut ini ketentuan pemungutan Pajak Penghasilan atas penjualan barang sangat mewat oleh badan tertentu.


    Walaupun disebutkan Wajib Pajak badan tertentu, tetapi tidak pernah disebutkan secara khusus kriteria "tertentu", kecuali penjual. Artinya bahwa Wajib Pajak badan tertentu adalah Wajib Pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

    Barang yang tergolong sangat mewah adalah :
    1. pesawat terbang pribadi dan helikopter pribadi;
    2. kapal pesiar, yacht, dan sejenisnya;
    3. rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau luas bangunan lebih dari 400m2 (empat ratus meter persegi);
    4. apartemen, kondominium, dan sejenisnya, dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau luas bangunan lebih dari 150m2 (seratus lima puluh meter persegi);
    5. kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus, dan sejenisnya, dengan harga jual lebih dari Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) atau dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000cc; dan/atau
    6. kendaraan bermotor roda dua dan tiga, dengan harga jual lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) atau dengan kapasitas silinder lebih dari 250cc.  

    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2015 menghilangkan batasan harga jual untuk penjualan pesawat terbang pribadi dan kapal pesiar. Artinya berapapun harga kapal pesiar maka penjual wajib memungut Pajak Penghasilan. 

    Besarnya Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari harga jual tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM).

    Pajak Penghasilan ini merupakan cicilan pajak pada tahun berjalan. Pada akhir tahun, pembeli barang sangat mewah dapat mengkreditkan Pajak Penghasilan ini. Inilah kenapa disebut pemungutan Pajak Penghasilan.  

    Disebut pemungutan Pajak Penghasilan karena pembayar Pajak Penghasilan adalah pembeli, bukan penerima penghasilan. Berbeda dengan pemotongan Pajak Penghasilan. Disebut pemotongan Pajak Penghasilan karena pembayar Pajak Penghasilan adalah penerima penghasilan (penjual).

    Pemungut Pajak Penghasilan wajib memberikan tanda bukti pemungutan kepada orang pribadi atau badan yang dipungut setiap melakukan pemungutan. Pemungut Pajak wajib menyetorkan Pajak Penghasilan yang dipungut ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat Setoran Pajak. Pemungut Pajak wajib melaporkan hasil pemungutannya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayanan Pajak paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2015 memberikan pengecualian pemungutan Pajak Penghasila jika pembeli bukan subjek pajak. Menurut Pasal 3 Undang-Undang Pajak Penghasilan, dikecualikan sebagai subjek pajak adalah:
    1. kantor perwakilan negara asing;
    2. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
    3. organisasi-organisasi internasional dengan syarat: Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
    4. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. 





    Iklan